TABANAN – Ngelawang sudah menjadi tradisi yang tidak bisa lepas dalam setiap perayaan hari suci Galungan dan Kuningan di Bali. Biasanya, ngelawang akan dilakukan oleh anak-anak yang tergabung ke dalam kelompok atau sekaa dengan menarikan barong.
Mulai dari barong bangkung sampai dengan macan. Tradisi ini biasanya dilakukan sepanjang Galungan hingga Umanis Kuningan. Kelompok pemainnya akan berjalan kaki dari rumah ke rumah. Mereka akan diupah dan memainkan barong di depan pintu masuk utama rumah warga (lawang).
Nah di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, Bali tradisi ngelawangnya cukup unik karena menggunakan barong yang bahannya dari dedaunan kering. Seperti terlihat pada Minggu (15/1/2023). “Istilahnya don buah. Jadi bahannya dari daun pinang kering. Kalau di Bali istilahnya upih,” jelas I Gede Putu Resky Gita Adi Pratista (25), dari Yayasan Lilanjani Kerta Bumi.
Yayasan yang berada di Banjar Belumbang Kaja, Desa Belumbang, ini merupakan induk dari sekaa ngelawang tersebut. Sesuai namanya, barong yang dipakai ngelawang oleh kelompoknya itu disebut Barong Don Buah.
Hampir seluruh bagian barong itu terbuat dari daun pinang yang dikeringkan. Daun pinang yang dikeringkan itu dipakai ke seluruh bagian barong. Mulai dari rambut, gelungan garuda mungkur yang ada pada bagian atas pemain barong di depan, sampai dengan ekornya.
Menariknya, Gede Putu Resky menuturkan bahwa barong tersebut bukan asal ada begitu saja. Alumnus program SI Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini menyebutkan, sesuai tutur para tetua di Desa Belumbang, di masa lalu memang ada Barong Don Buah.
“Barong Don Buah yang kami pakai ngelawang ini awalnya dari program rekonstruksi kesenian. Kebetulan cerita para tetua kami di Belumbang, memang ada Barong Don Buah,” jelasnya.
Gede Putu Resky yang juga menamatkan program S2 Kajian Seni di ISI Denpasar tersebut mengatakan, dengan tradisi ngelawang tersebut, ia dan teman-temannya di Yayasan Lilanjani Kerta Bumi ingin mengenalkan kembali keberadaan Barong Don Buah.
“Meski hanya berdasarkan tutur (cerita) para orang tua, kami coba merekonstruksinya. Awalnya, bagian dari program rekonstruksi itu. Sekarang dalam setiap Galungan dan Kuningan kami pakai ngelawang agar masyarakat mengenal lagi,” ujarnya.
Ia mengaku tidak ingat persis, kapan program rekonstruksi Barong Don Buah dilakukan. Seingatnya antara 2016 dan 2017. Setelah itu, setiap Galungan dan Kuningan, Barong Don Buah yang dimainkan kelompoknya dipakai untuk ngelawang hingga desa tetangga.
Biasanya, 2 minggu sebelum Galungan, ia dan teman-temannya akan melihat kondisi Barong Don Buah. Ini untuk memastikan apakah kondisi barong tersebut perlu perbaikan atau tidak. Mengingat bahannya yang dari daun pinang kering.
“Kalau kondisinya dirasa perlu perbaikan, kami akan lakukan perbaikan. Biasanya 2 minggu sebelum Galungan, kami akan cari Don Buah (daun pinang). Habis itu dikeringkan dengan cara ditindih agar rata. Baru setelah itu dijarit pakai benang,” ungkapnya.
Terkecuali saat pandemi Covid-19, Gede Putu Rezky mengaku, ia dan teman-temannya tidak bisa ngelawang. Bahkan di momen kali ini, ngelawang baru bisa dilakukan pada saat Kuningan.
“Pas Galungan (kami) ada acara. Sesuhunan, Barong Don Buah yang dulu ada, dipentaskan dalam pertunjukan calonarang di Pura Puseh. Kami di yayasan diminta fokus mempersiapkan pementasannya,” pungkasnya. (nor/has/dtc)