JEMBRANA – Tulisan kelima dari lima tulisan. Puluhan anak logam di Selat Bali saban hari bersaing mengumpulkan rupiah. Dari atas kapal, mereka menceburkan diri ke laut untuk memburu uang yang dilemparkan para penumpang. Meski saling bersaing, para anak logam di Pelabuhan Gilimanuk itu tidak pernah bertengkar.
Dany menuturkan, rasa kekeluargaan antaranak logam di Pelabuhan Gilimanuk sangat kuat. Meski saat ngelogam mereka seakan berlomba mendapatkan uang, tetapi setelah itu mereka saling merangkul.
“Biasanya ada penumpang memberikan uang lebih untuk dibagi, pasti kami bagi. Jadi kami saling bantu saja,” tutur Dany saat ditemui detikBali, Selasa (10/1/2023).
Menurut Dany, ada sekitar 20 orang yang menjadi anak logam di Pelabuhan Gilimanuk. Hanya saja, setiap hari hanya ada 5 hingga 10 orang yang beraksi di pelabuhan.
Pria asal Kelurahan Gilimanuk, Jembrana, Bali, itu kemudian menunjukkan markas anak logam di Pelabuhan Gilimanuk. Markas itu dibangun menggunakan material yang terdampar di laut. Di markas berupa gubuk itu pula para anak logam berkumpul saat tidak bisa ngelogam karena sepi penumpang.
Menurut Dany, markas tersebut sengaja dibuat agak jauh dari pelabuhan agar lebih aman dari kejaran petugas pelabuhan. “Karena tempat kumpul kami biasanya di bawah jembatan pelabuhan itu sering didatangi petugas, jadi buat lebih jauh dari daerah pelabuhan,” imbuhnya.
Hubungan antaranak logam di Pelabuhan Gilimanuk tercermin dari aktivitas mereka di gubuk tersebut. Tak hanya haha-hihi, di sana mereka berbagi hasil tangkapan di laut. Membakar ikan lalu menyantapnya bersama-sama adalah cara mereka untuk guyub.
“Di gubuk ini kami aman. Mereka (petugas) tidak bisa menangkap kami di sini, kan cuma kumpul sambil memancing,” kata Dany.
Bagi Dany, pendapatan dari ngelogam cukup menjanjikan. Ia bisa mendapatkan uang Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu dalam sehari. Bahkan, pendapatan anak logam bisa mencapai Rp 500 ribu saat libur Lebaran.
Dany mengakui, anak logam kerap kucing-kucingan dengan petugas pelabuhan. Mereka juga menyadari ngelogam berbahaya dan berisiko mengancam nyawa.
“Mau bagaimana lagi, kalau saya bisa kerja jadi buruh bangunan saja. Namun (anak logam) yang memang dari dulu hingga sudah berumur ini kasihan,” tandasnya. (iws/gsp/dtc)