TABANAN – Empat kepala keluarga (KK) di Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan Tabanan terancam kehilangan tempat tinggal. Penyebabnya, mereka kalah dalam gugatan perdata sesuai putusan Pengadilan Negeri (PN) Tabanan pada 27 Maret 2023.
Sesuai putusan perdata nomor 328/Pdt.G/2022/PN Tab, keempat KK tersebut diminta mengosongkan lahan yang menjadi tempat tinggal mereka selama ini.
Keempat KK tersebut antara lain, I Nyoman Sumandi, I Ketut Muliastra, I Ketut Dastra, dan I Ketut Wirta. Dalam perkara ini, mereka sebagai pihak tergugat. Adapun penggugatnya adalah I Gusti Ngurah Anom Rajendra, I Gusti Ngurah Putra Bhirawan, Sagung Ayu Yulita Dewantari, dan I Gusti Ngurah Yudistira Pramudya Putra.
Peliknya persoalan ini sampai membuat anak salah satu dari pihak tergugat, I Wayan Muliawan atau anak dari I Ketut Muliastra, membuat video dan diposting di media sosial dengan pesan yang intinya meminta keadilan kepada Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri terkait.
Selain disidangkan dalam perkara perdata di PN Tabanan, keempat tergugat tersebut juga sempat menjalani pemeriksaan di Polres Tabanan hingga Polda Bali sejak 2018 lalu.
“Munculnya masalah ini saat mereka mau menyertifikatkan tanah ini. Dari sana saya mulai resah. Bagaimana rumah saya ini,” jelas Muliastra, Jumat (30/6/2023).
Oleh penggugat yang merupakan anggota dari keluarga besar Jero Beng Tabanan, lahan yang ditempati Muliastra dan tiga KK lainnya merupakan tanah warisan mereka.
Tanah tersebut hendak disertifikatkan melalui program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) berbekal SPPT atau Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
Muliastra mengetahui tanah yang ditempatinya itu hendak disertifikatkan dengan SPPT setelah mendapatkan informasi ada orang yang datang ke Kantor Desa Tunjuk.
Menurutnya, permohonan itu tidak disetujui kelian banjar adat dan dinas setempat. Sebab yang hendak menyertifikatkan lahan tersebut diketahui bukan warga adat atau dinas setempat.
Apalagi, kapasitas kelian adat dan dinas saat itu sebagai saksi pada formulir permohonan penyertifikatan tanah. Mereka pun tidak ingin bermasalah secara hukum di kemudian hari.
Karena menolak menandatangani dan meminta pemohon sertifikat membuat kesepakatan dengan penunggu lahan yang diklaim, kelian adat dan dinas setempat justru sempat dilaporkan ke Polisi.
Mereka dianggap menghalangi program pemerintah atau PTSL. Bahkan persoalan pun makin melebar karena para penggugat melapor juga ke Ombudsman hingga Polda Bali. “Termasuk saya ikut dilaporkan ke Polres Tabanan,” sebutnya.
Di sisi lain, Muliastra maupun tiga KK lainnya memang tidak memiliki bukti kepemilikan atas lahan tersebut. Ia sudah bertempat tinggal di lahan itu sejak buyut mereka ada. Demikian juga dengan tiga KK lainnya.
Di masa lalu hubungan antara buyut mereka dan keluarga Jero Beng juga baik. Sehingga dalam setiap upacara adat di Jero Beng, keluarga Muliastra dan tiga KK lainnya pasti ikut ngayah.
“Saya (bukti) hitam di atas putih tidak ada. Hubungan dengan puri juga tidak mengetahui. Tapi kalau ada karya (upacara adat) di puri, saya ikut ngayah,” ujarnya.
Ia berharap persoalan ini bisa diselesaikan secara musyawarah. Namun, persoalan ini justru berujung dengan gugatan yang kini membuat Muliastra dan tiga KK lainnya terancam terusir dari tempat tinggalnya saat ini.
“Harapan saya supaya solusi bersama. Saya tidak minta (luas) segini atau segitu. Sama-sama memproses sertifikatkan karena merasa sudah (tinggal) dari leluhur. Ditambah sudah ada bangunan rumah,” sebutnya.
Dengan adanya rencana penyertifikatan lahan itu, Muliastra sejak 2018 sudah merasa khawatir sewaktu-waktu akan terusir. “Sementara ini rumah adalah tumpuan akhir saya,” sebutnya. (hsa/hsa/dtc)