SUATU ketika, enam tahun sebelum kepergiannya, saya bertemu Peter Apollinius Rohi di Denpasar, 30 Mei 2014. Om Peter adalah mantan aktivis, wartawan dan pencinta sejarah.
Tokoh turunan Sabu berdomisili di Surabaya ini telah berpulang tiga tahun silam. Saya bersua Om Peter dalam serial diskusi yang digagas novelis Wayan “Jengki’ Sunarta, saya dkk kala itu.
Melalui Om Peter, saya akhirnya bisa menggali jejak cerita Riwu Ga, sosok legendaris yang wafat dalam sunyi pukul 17.00 Wita, di hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 1996.
Siapa diantara kita yang mengenal Riwu? Di hari tuanya, ia kembali ke desanya, hanya memacul tanah tandus di Timor.
Riwu tak seperti pejabat yang dengan mobil mewah ke Istana berikut dengan jas berharga puluhan juta Rupiah, menghormat pada bendera Indonesia Raya.
Ia hanya orang tua yang rapuh dan ia tidak pernah diundang ke Istana seumur hidupnya, karena mungkin saja bau dekil dan baju kotor tak pantas bagi Istana yang megah.
Tapi tanpa Riwu, bisa jadi kita tak mengenal Indonesia seperti apa yang kita kenal sekarang.
Jauh sebelum negaranya lahir tanggal 17 Agustus 1945, Riwu Ga seperti sudah ditakdirkan untuk selalu berperan dan berhubungan dengan hari yang tidak pernah akan dilupakan oleh setiap orang Indonesia itu.
Bila Inggit Garnasih dijuluki banyak orang sebagai sosok wanita yang mengantarkan Soekarno ke gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka Riwu Ga adalah orang yang menjaga kunci gerbang itu agar tidak hilang.
Pada usia 13 tahun di tahun 1934 Riwu Ga berkenalan pertama kali dengan Bung Karno di Ende, semasa menjalani pengasingannya. Sikapnya yang rendah hati dan penuh kepatuhan pada peraturan dan etika, membuat dia dipercaya dan disayang oleh keluarga besar proklamator itu, baik oleh pihak Ibu Inggit maupun Ibu Fatmawati.
Ketika Soekarno dipindahkan ke Bengkulu, dia diikutsertakan bahkan sampai berakhir masa pembuangan dan Indonesia merdeka, Riwu Ga tetap mengabdi kepada keluarga Soekarno.
Setelah turut mempersiapkan upacara pembacaan proklamasi, Riwu Ga diperintahkan Soekarno untuk menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan itu ke sekeliling Jakarta.
Banyak rakyat Indonesia tidak tahu bahwa negera mereka sudah merdeka, karena kemerdekaan itu ditentang banyak pihak termasuk penguasa Jepang.
Bersama Sarwoko yang mengemudikan mobil jeep, Riwu Ga berteriak-teriak heroik mengumumkan kepada kumpulan rakyat sambil membawa bendera berah putih.
“Kita sudah merdeka, kita sudah merdeka!” Tindakannya sangat konyol dilakukan saat itu, karena bisa saja aparat keamanan tentara Jepang menembaknya sesuka hati.
Riwu Ga memang tinggal kenangan. Dia sepenggal sejarah yang kini terhempas jauh dari hiruk pikuk kemerdekaan. Menjadi yang tak diperhitungkan bangsa, konsekuensi dari seorang Riwu Ga.
Keringat dan darahnya melayani bangsa terhapus carut marut birokrasi sebagai satu dari delapan anak Riwu Ga, mereka sering diceritakan oleh ayahnya tentang kisah perjuangannya bersama Bung Karno baik itu di Ende lokasi pengasingan Soekarno maupun di Jakarta.
“Kami dengar banyak cerita. Mulai dari masa pembuangan, hingga kemerdekaan. Kami sangat bangga pada ayah kami. Malah, ketika hendak dibuang ke Australia, Bung Karno tidak mau jalan kalau Riwu Ga tidak dibawa” tutur salah satu putra Riwu
Mendiang Peter Apollinius Rohi suatu ketika berkisah di beranda facebooknya.
Tahun 1991, impas sudah jerih payah saya melacak di mana Riwu Ga nama yang disebut-sebut dalam buku Cindy Adams dan Ramadhan KH dalam buku mereka yang berkaitan dengan Bung Karno.
Masih dalam tekanan rezim Soeharto, saya melakukan investigasi saat mana banyak orang masih takut membuka suara.
Tanpa sengaja, setelah sia-sia mencari di Ende, saya menuju Maumere. Mujur masih berpihak, di bandara Maumere bertemu Yusak Riwu Rohi, wartawan Jawa Pos ketika itu.
Berdua kami melakukan investigasi dan akhirnya bertemu Riwu di ladang jagungnya, tengah hutan gebang di pedalaman Pulau Timor.
Riwu sedang memacul tanah gersang, menanti turun hujan membasahinya. Orang tua ini yang mengawal Bung Karno sebelum proklamasi. Dia disayangi Ibu Inggit dan dua anak angkat Bung Karno Ratna Djuami dan Kartika.
Riwu mengawal keluarga itu berjalan kaki melintasi rimba raya Bengkulu sampai Sumatera Barat.
Dia pula menjaga mereka di atas perahu motor kecil dari Palembang ke Pasar Ikan Jakarta, dan dia pula yang dipercayai Bung Karno berdiri di mobil terbuka yang disopiri Sarwoko untuk mengumumkan pada masyarakat Jakarta dengan Megaphone bahwa negeri ini sudah merdeka.
Tanpa Riwu sejarah perjalanan bangsa bisa berubah. Karena Bung Karno menuntut Riwu ikut dalam kapal yang akan membawa mereka ke Australia, kapal itu akhirnya berlayar tanpa Bung Karno.
Nenek Gadi Walu kakak Riwu Ga yang saya wawancarai mengatakan Bung Karno saat minta izin untuk membawa serta Riwu, saya minta agar Riwu jangan ditelantarkan.
Karena itu pula Bung Karno “ngotot” membawa serta Riwu, dan karena itu pula Bung Karno tidak ikut kapal yang ternyata di tengah laut tenggelam dibom Jepang.
Tuhan telah memberi seorang Riwu di samping Bung Karno, agar bukan orang lain yang memproklamirkan kemerdekaan kita. Dia telah mengawal Bung Karno melintasi jembatan emas kemerdekaan dan menyadari bahwa tugasnya selesai.
“Sekarang tugas mereka yang bersekolah. Saya buta huruf dan lebih cocok menjadi petani,” ujar dia saat pertemuan kami yang terakhir tepat 50 tahun kemerdekaan RI, di ladang jagungnya.
Saya, dan Yusak menemani Riwu dan putra bungsunya Johny sepi saat hari proklamasi itu. Kenapa om tidak pasang bendera? Merah putih itu sudah tinggal di dada om, tanpa perlu dikibarkan,” jawabnya jujur dan spontan.
Terima kasih Riwu Ga, kisah pahlawan sunyi, sosok kebanggaan Flobamora Sabu Ende. Terima kasih Om Peter Rohi untuk keuletan menggali jejak sejarah. Bahagia abadi di Surga ***
Disadur dari beragam sumber. Dirgahayu ke 78 Republik Indonesia, Terus Melaju untuk Indonesia Maju. Salam, Valerian Libert Wangge, Ketum Wuamesu Bali.