BULELENG – Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, Bali mengukuhkan dua guru besar yakni Prof. Dr. I Gede Suwindia pada bidang ilmu agama dan lintas budaya dan Prof. Dr. Drs. I Putu Gede Parmajaya pada bidang ilmu agama.
“Pengukuhan dua guru besar merupakan rangkaian dari pelaksanaan wisuda sebanyak 129 lulusan terdiri dari Pascasarjana 15 orang, Jurusan Dharma Acarya 32 orang, Jurusan Dharma Duta 35 orang, Jurusan Brahma Widya 15 orang, dan Jurusan Dharma Sastra 32 orang,” kata Ketua Panitia Wisuda, Made Ari Winangun, S.Pd., M.Pd di Gedung Kesenian Gde Manik, di Singaraja, Jumat.
Menurut dia, pelaksanaan wisuda juga dirangkaikan dengan prosesi pengukuhan dua guru besar yakni Ketua STAHN Mpu Kuturan Prof. Dr. I Gede Suwindia, dan Ketua Senat Prof. Dr. Drs. I Putu Gede Parma Jaya.
Ari Winangun menjelaskan bahwa pelaksanaan wisuda tahun ini merupakan pelaksanaan wisuda kedua. Sebelumnya telah dilaksanakan proses wisuda pada 16 Juni 2023 dengan meluluskan sebanyak 175 mahasiswa.
“Wisuda kali ini merupakan pelaksanaan kedua. Memang setiap tahunnya dilaksanakan dua kali wisuda. Tahun ini spesial karena dirangkaikan dengan pengukuhan dua guru besar,” kata dia.
Kedua guru besar itu adalah Prof. Dr. Gede Suwindia, S.Ag, M.A bidang Ilmu Agama dan Lintas Budaya yang merupakan lulusan S3 Universitas Gadjah Mada tahun 2013 silam. Pria kelahiran Karangasem 29 November 1976 ini juga kini menjabat sebagai Ketua STAHN Mpu Kuturan Singaraja sejak 2020 silam.
Selanjutnya Prof. Dr. Drs. Putu parmajaya, M.Pd, bidang Ilmu Agama Hindu, merupakan dosen senior kelahiran Desa Satra, Kecamatan Kintamani Bangli pada 31 Desember 1959 yang menuntaskan Pendidikan Doktornya di IHDN Denpasar. Saat ini Parmajaya sedang menjabat sebagai Ketua Senat STAHN Mpu Kuturan.
Keduanya dikukuhkan langsung oleh Dirjen Bimas Hindu, Kementerian Agama RI, Prof. Dr I Nengah Duija, M.Si dan disaksikan oleh Penjabat (PJ) Bupati Buleleng dan sejumlah undangan serta handai taulan.
Gede Suwindia dalam orasi ilmiahnya berjudul “Menyemai Benih, Merawat Kerukunan: Moderasi Beragama Dalam Bingkai Budaya Bali” memaparkan bahwa era disrupsi memberikan dampak terhadap upaya menjaga kerukunan.
Bahkan, konsep tri hita karana, tri kaya parisudha, susastra dan ajaran tatwam asi menjadi bekal bagi umat Hindu dalam menjaga kerukunan di Bali turut tergerus oleh era penjungkirbalikan nilai. Padahal nilai-nilai itulah yang harus dijaga sehingga bisa menciptakan harmoni dalam kehidupan.
“Kerukunan itu tidak jatuh dari langit. Namun, tugas kita harus menjaganya, mengkonstruksinya dengan nilai-nilai kearifan lokal. Agama dan budaya adalah sejoli yang saling melengkapi, jika hilang salah satunya, tamatlah keharmonisan di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Putu Parmajaya tampil dengan orasi ilmiah berjudul “Taksonomi Nilai Kognitif Berbasis Tri kaya Parisudha Sebagai Alat Ukut Psikologis dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu”. (ant/sb)