JAKARTA – Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen yang berlaku saat ini berpeluang berubah untuk pemilihan umum berikutnya. Itu seiring dikabulkannya gugatan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemerintah dan DPR merumuskan ulang parliamentary threshold untuk pemilu ke depan. Perintah MK itu tertuang dalam putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan di gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Dalam gugatannya, Perludem meminta MK menguji konstitusionalitas Pasal 414 ayat 1 UU 7/2017 tentang Pemilu. Perludem mempersoalkan ambang batas parlemen yang dianggap tidak jelas perumusan angkanya. Kemudian, Perludem mengusulkan skema penghitungan konversi kursi yang dianggap lebih proporsional.
MK dalam putusannya hanya mengabulkan dalil soal ketidakjelasan perumusan angka ambang batas. Sementara terkait skema penghitungan, MK menegaskan menjadi kewenangan pembentuk UU untuk menetapkannya. ”Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan.
Dalam pertimbangannya, hakim MK Saldi Isra mengatakan, penerapan ambang batas merupakan hal yang lumrah di negara yang menganut sistem multipartai. Di Indonesia, pelaksanaannya pun berlaku sejak 2004. Tujuannya, memperkuat sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Meski implementasinya tidak terbukti efektif, sistem itu tidak masalah untuk dipertahankan.
Namun, MK menyoroti angka ambang batas yang terus berubah-ubah. Ironisnya, perubahan angka itu tidak memiliki dasar perhitungan yang logis dan ilmiah. Dalam pernyataannya di persidangan, pemerintah maupun DPR tidak menjelaskan kenapa 4 persen yang dipilih. ”Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen dimaksud,” ujar Saldi.
Padahal, ambang batas jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Di sisi lain, sistem yang berlaku saat ini juga telah mengakibatkan besarnya suara terbuang sia-sia. Misalnya, pada Pemilu 2004 terbuang 19.047.481 suara dan 2019 terbuang 13.595.842 suara.
Fakta itu, lanjut Saldi, memperlihatkan adanya disproporsionalitas hasil pemilu terhadap kursi DPR. Padahal, sesuai putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009, pembentuk UU wajib menentukan ambang batas yang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
MK menyatakan, ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, MK memerintahkan DPR dan pemerintah untuk melakukan perubahan yang dapat digunakan pada Pemilu 2029. Sementara di Pemilu 2024, MK membolehkan penggunaan ketentuan yang ada sebagai bentuk kepastian hukum mengingat tahapannya telah berjalan.
Dalam merumuskan ambang batas terbaru, MK memberikan sejumlah rambu. Antara lain, desain baru harus bisa digunakan secara keberlanjutan, harus meminimalkan banyaknya suara sia-sia, perubahan ditempatkan dalam rangka menyederhanakan sistem partai, dan diselesaikan sebelum tahapan Pemilu 2029 berjalan. ”Perubahan harus melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum,” tegas Saldi.
Peneliti Perludem Muhammad Ihsan Maulana mengapresiasi putusan MK. Baginya, putusan itu bisa menjadi dasar untuk memperbaiki sistem pemilu ke depan, khususnya terkait konversi suara.
Diakuinya, pemilu Indonesia masih banyak masalah dan perlu perbaikan. ”Perlu ada evaluasi lanjutan dalam konteks tata kelola pemilu agar penyelenggaraannya lebih demokratis,” ujarnya.
Perludem juga berharap, putusan MK benar-benar dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Jangan sampai putusan diabaikan untuk mengamankan kepentingan tertentu. ”DPR dan pemerintah harus mengikuti rambu-rambu yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, pihaknya menghormati putusan MK terkait ambang batas parlemen. Menurut dia, putusan MK adalah final dan mengikat sehingga harus diikuti. Namun, pihaknya belum mengetahui secara pasti isi amar putusan MK.
Pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu putusan tersebut. Apakah putusan itu hanya menghapus angka 4 persen ambang batas parlemen yang selama ini berlaku atau menghapus ambang batas parlemen itu sendiri. ”Itu yang akan kami kaji,” tuturnya.
Jika angka 4 persen yang dihapus, angka ambang batas parlemen bisa diturunkan di bawah 4 persen. Misalnya, menjadi 3,5 atau 3 persen. Jika ambang batas parlemen yang dihapus, tidak ada lagi ambang batas alias 0 persen. Guspardi menegaskan, putusan MK itu tentu akan ditindaklanjuti dengan revisi UU 7/2017 tentang Pemilu.
Anggota DPR RI dari Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan, putusan MK sama dengan konstitusi sehingga harus dipatuhi semua pihak. Dengan putusan itu, kata dia, tidak perlu ada lagi ambang batas parlemen pada Pemilu 2029. Dengan begitu, semua partai yang mengikuti pemilu dan mendapatkan kursi bisa masuk parlemen. ”Itu lebih fair karena mencerminkan multicultural politics di Indonesia,” tandasnya. (JP/SB)