Rabu, Desember 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Rudenim Denpasar Deportasi WNA Belanda dan Mesir Lakukan Hal Tidak Senonoh di Jalanan

BADUNG – Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, Bali, mendeportasi wisatawan berinisial HRC (60) warga negara Belanda dan MAMM (48) warga negara Mesir, karena melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Plh. Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, Albertus Widiatmoko, Selasa (24/12/2024) menerangkan bahwa, HRC (60) seorang pria asal Belanda, yang tinggal di kawasan Tibubeneng, Kuta Utara, Bali, telah dilaporkan membuat keributan dan perbuatan tidak senonoh di jalanan pada awal November 2024.

“HRC sempat dipanggil untuk mengklarifikasi dan diperiksa oleh petugas Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai pada 12 November 2024 setelah kejadian tersebut sempat viral di media sosial. Dalam video yang beredar, HRC tampak menurunkan celananya di tengah jalan dan melakukan tindakan vulgar sambil mencaci maki warga sekitar,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, HRC yang sebelumnya datang ke Bali dengan izin tinggal ITAS investor yang berlaku hingga 23 Mei 2026, diduga terlibat dalam kegiatan yang meresahkan masyarakat. Berdasarkan klarifikasi yang diberikan, HRC mengaku bahwa tindakannya merupakan respons atas intimidasi yang ia alami terkait tanah dan villa yang ia tempati.

Selain itu, diketahui HRC belum melakukan kegiatan usaha di perusahaannya selama melakukan investasi di Indonesia. Bahkan alamat perusahaan yang didaftarkan pada detil perseroan yakni di Tibubeneng, Kuta Utara, bukan merupakan alamat perseroan dimaksud. Meskipun demikian, pelanggaran yang dilakukan HRC dianggap telah melanggar ketentuan keimigrasian dan tidak sesuai dengan izin tinggal yang diberikan.

“Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, HRC telah melanggar Pasal 75 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,” ujar Widiatmoko. Sebagai akibatnya, HRC dikenai tindakan administratif berupa pembatalan izin tinggal dan pendeportasian kembali ke negaranya.

Selain HRC, seorang pria warga negara Mesir, MAMM (48), juga dideportasi setelah terbukti melanggar aturan keimigrasian di Indonesia. MAMM pertama kali datang ke Indonesia pada April 2022 dan tinggal di Jakarta dengan visa wisata untuk menikah dengan kekasihnya seorang WNI. Namun, MAMM didapati melampaui batas waktu tinggalnya sejak 5 Agustus 2022 tanpa memperpanjang izin tinggal atau melaporkan dirinya ke pihak Imigrasi.

Setelah beberapa bulan mengalami kesulitan keuangan, MAMM mengaku tidak bisa membayar denda overstay dan biaya pembuatan KITAS, sehingga ia tidak dapat memperpanjang izin tinggalnya. Ia juga merasa takut dilaporkan dan ditahan oleh pihak Imigrasi. Selain itu, MAMM mengaku bahwa ia telah ditipu oleh agen perjalanan setelah membayar uang sebesar 25 juta rupiah untuk mengurus ITAS dan overstay-nya, namun agen tersebut hilang tanpa kabar.

Setelah 853 hari berada di Indonesia tanpa izin tinggal yang sah dan berpisah dengan kekasihnya, MAMM akhirnya melaporkan diri ke Imigrasi Ngurah Rai dan dikenakan tindakan administratif berupa deportasi sesuai dengan ketentuan Pasal 78 Ayat (3) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Widiatmoko menambahkan bahwa tindakan pendeportasian terhadap kedua WNA ini merupakan bagian dari upaya pengawasan yang lebih luas terhadap pelanggaran keimigrasian di Bali. “Kami akan terus memperkuat pengawasan terhadap warga negara asing yang berada di Bali untuk memastikan mereka mematuhi semua peraturan yang berlaku,” ujar Widiatmoko.

HRC dan MAMM dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar untuk menunggu proses pendeportasian lebih lanjut. Keduanya akhirnya diterbangkan ke negara asal masing-masing, untuk HRC menuju Schipol Amsterdam International Airport sedangkan MAMM dengan tujuan akhir Cairo International Airport melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dengan pengawalan ketat dari petugas Rudenim Denpasar.

Kakanwil Kemenkumham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu, menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawasi keberadaan warga negara asing di Bali, khususnya yang terkait dengan pelanggaran keimigrasian. “Kami berkomitmen untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Bali, terutama dalam hal keberadaan WNA yang tidak mematuhi aturan keimigrasian. Tindakan tegas akan terus kami lakukan untuk memastikan Bali tetap aman dan nyaman bagi semua pihak,” ujar Pramella.

“Sebagaimana diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat diberlakukan hingga enam bulan dan diperpanjang, serta penangkalan seumur hidup dapat diterapkan bagi orang asing yang mengancam keamanan dan ketertiban umum. Keputusan akhir mengenai penangkalan akan diputuskan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi setelah mempertimbangkan aspek-aspek kasusnya,” tutup Widiatmoko.(WIR)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER