DENPASAR – Gubernur Bali Wayan Koster, mengambil langkah preventif dan tegas dalam menjaga Pulau Dewata dari potensi gangguan ormas berkedok pengamanan, dengan menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang desa adat.
Perda ini mengatur terkait desa adat, organisasi, fungsi, peran, dan hubungan desa adat dengan pemerintah daerah. Tujuan Perda ini tentu untuk melindungi, menjaga, dan mengembangkan kelembagaan desa adat serta kearifan lokal di Bali.
“Gubernur Bali Koster tidak menunggu masalah datang. Beliau sudah lebih dulu membaca arah bahaya. Ormas-ormas yang datang dengan baju pengamanan tapi punya agenda lain, itu bukan untuk Bali. Itu sebabnya lahir Perda Nomor 4 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 20 Tahun 2020,” ujar Jro Mangku Wisna (JMW), Klian Desa Adat Kesiman Denpasar dan juga sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali, dalam keterangan Senin (5/5/2025).
JMW menyampaikan Gubernur Koster telah mengunci gerbang Pulau Dewata sejak awal. Ia mengajak semua aparat desa adat bersatu menjaga Bali. “Sekarang giliran kita semua, terutama desa adat, untuk berjaga. Jangan beri ruang, jangan beri celah,” katanya.
Pihaknya berharap, seluruh desa adat untuk tetap bersatu dan waspada. Ancaman ormas liar, katanya, tidak hanya fisik tetapi juga ideologis yang dapat menggerus nilai-nilai harmoni dan rasa aman yang telah lama menjadi ciri khas masyarakat Bali.
Dia mengatakan, peraturan yang telah diterbitkan Gubernur Koster merupakan payung hukum yang mengikat untuk menegaskan sistem keamanan di Bali bersumber dari adat istiadat sendiri. Pecalang, sebagai ujung tombak pengamanan berbasis desa adat, telah menjalankan perannya sejak lama dengan kedekatan sosial dan kewibawaan budaya yang tidak dimiliki oleh ormas mana pun.
“Pecalang itu bukan aparat semu. Mereka tahu siapa yang tinggal di lingkungannya, siapa tamu yang datang, dan bagaimana cara mengedepankan dialog tanpa kekerasan. Ditambah dengan Sipandu Beradat, sistem kita sudah solid. Tidak perlu ormas luar yang justru bisa menambah keruwetan,” tegasnya.
Dia mengingatkan bahwa, kemunculan ormas-ormas yang tiba-tiba masuk ke pasar, proyek, atau kawasan adat seringkali membawa pola-pola yang mencurigakan. Ada yang beroperasi tanpa izin desa adat, ada pula yang justru meresahkan warga.
“Kalau datang bawa nama pengamanan tapi ujungnya maksa, minta jatah, atau bikin warga takut, itu bukan pengamanan. Itu pemerasan. Itu premanisme. Dan Bali tidak boleh kompromi soal itu,” katanya.
JMW menggarisbawahi bahwa kekhususan Bali dalam sistem hukum nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, memberikan hak konstitusional bagi pemerintah daerah untuk menjaga keotentikan adat dan budayanya. Ini termasuk menolak segala bentuk organisasi yang bertentangan dengan spirit kearifan lokal.
“Bali ini bukan tanah kosong yang bisa dimasuki siapa saja seenaknya. Kita punya aturan, punya adat, punya cara sendiri untuk menjaga keamanan. Bukan dengan kekerasan, bukan dengan pungli, bukan dengan intimidasi,” ujarnya. (WIR)