DENPASAR – Kegiatan diskusi Transportasi Pariwisata yang digelar Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali, yang berlangsung di Tuban, Kuta, Bali, pada Rabu (21/5/2025), menjadi wadah menyuarakan aspirasi kepada pemangku kepentingan.
“Kegiatan diskusi bertajuk permasalahan Transportasi Pariwisata sebagai Sektor Penting dalam Pariwisata Bali ini menjadi wadah menyuarakan aspirasi sekaligus menyatukan sikap untuk mendorong perbaikan tata kelola transportasi,” kata Ketua Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali, Made Darmayasa, kepada awak media.
Dalam diskusi itu, Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali yang beranggotakan 115 paguyuban sopir freelance dari seluruh Bali. Mengajak untuk berdiskusi yang menghadirkan sejumlah narasumber, yakni akademisi sekaligus pengamat kebijakan Publik Prof Dr I Nengah Dasi Astawa, tokoh pariwisata Wayan Winasa, serta perwakilan Majelis Desa Adat Kota Denpasar A.A. Ketut Sudiana,” ucap pria yang akrab disapa Dek Rock.
Dia mengatakan, forum ini lahir sebagai respons atas keresahan sopir freelance yang merasa tidak dilindungi secara hukum maupun regulasi. Ia menegaskan seorang pengemudi pariwisata bukan hanya sekadar membawa tamu, tetapi juga memiliki peran mengenalkan nilai-nilai budaya Bali.
Lebih lanjut dikatakan, keenam tuntutan telah masuk dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (Ranperda) yang merupakan inisiatif dari DPRD Bali. Enam tuntutan itu tersebut adalah, pembatasan kuota taksi online di Bali, penataan ulang vendor angkutan sewa khusus termasuk rental mobil dan motor, penetapan tarif standar untuk transportasi sewa, rekrutmen driver dibatasi hanya untuk ber-KTP Bali, kewajiban kendaraan pariwisata berpelat DK dan memasang identitas resmi, dan standarisasi sopir pariwisata dari luar Bali.
“Harapannya, hasil diskusi ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (Ranperda) ke depan,” jelasnya.
Dia menegaskan sejak menjamurnya transportasi online, banyak perubahan terjadi, termasuk persaingan tarif yang tidak sehat. Dimana, tarif lama mengacu ke Permenhub No 4 Tahun 2017, batas bawah Rp 3.700 dan batas atas Rp 8.000 atau harus disesuaikan.
“Apalagi, kondisi makin semrawutnya sistem transportasi, menurut para peserta diskusi, juga diperburuk oleh kehadiran pengemudi transportasi online non-lokal yang tidak memahami karakter wisata Bali. Ketidakhadiran regulasi yang berpihak pada pelaku lokal dinilai turut membuka celah persaingan yang tidak sehat,” ucapnya.
Forum yang menaungi sekitar 5.000 driver ini juga menyoroti pentingnya kendaraan wisata menggunakan pelat DK, sesuai Permenhub 118 Tahun 2018 Pasal 2 Huruf b. Ia juga mengusulkan pembatasan armada online agar tidak melebihi kebutuhan. “Kalau mobil ada 400 tapi tamunya cuma 200, itu yang bikin macet,” kata Dharmayasa,
Selain kendaraan, keberadaan vendor juga menjadi sorotan. Banyak ditemukan praktik pemalsuan data oleh oknum yang mengelola kendaraan sewa. Bahkan, persyaratan aplikasi dinilai terlalu longgar. “Bisa register di Surabaya, pakai plat Surabaya, dan semua KTP bisa masuk ke Bali.
Salah satu narasumber, Akademisi sekaligus perwakilan Majelis Desa Adat Kota Denpasar, A.A. Ketut Sudiana, menjelaskan lonjakan perpindahan penduduk ke Bali akan membawa dampak serius terhadap ruang hidup dan dinamika usaha lokal. Ia menyebut fenomena global seperti ‘End of Ambition’ telah merambah Bali, yakni munculnya wisatawan asing yang datang bukan lagi untuk berlibur, tetapi untuk tinggal, bekerja, bahkan membuka usaha ilegal.
“Turis sekarang tak sedikit yang ikut menjadi sopir atau pelaku usaha langsung, padahal secara aturan belum tentu mereka memiliki legalitas,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar ini. Ia juga menyoroti kontribusi besar sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali, yang ironisnya tidak selalu berdampak langsung terhadap masyarakat adat maupun pelaku lokal.
Untuk itu, pihaknya mendorong adanya kebijakan desentralisasi asimetris agar Bali bisa memiliki keistimewaan dalam mengatur dirinya sendiri melalui regulasi khusus seperti Undang-Undang Provinsi Bali dan Perda Pungutan Wisatawan Asing.
Pandangan kritis juga disampaikan tokoh pariwisata, Wayan Winasa. Menurutnya, harga jasa transportasi yang terlalu rendah menjadikan kualitas layanan ikut menurun. Ia mengungkapkan banyak wisatawan datang dengan orientasi pengeluaran murah, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan mutu dan peningkatan potensi kriminalitas.
“Bali sekarang dicap murah, ini bukan salah wisatawannya, tapi karena kita tidak mampu menetapkan harga yang sesuai standar internasional,” katanya. Ia mengimbau agar para pelaku transportasi tidak ragu menentukan harga sesuai kualitas.
Kondisi makin rumit juga dikupas oleh Prof Dr Nengah Dasi Astawa MSi yang menilai lemahnya penegakan aturan sebagai akar masalah. Ia menyebutkan banyak vila dan usaha ilegal tetap beroperasi tanpa pengawasan. Padahal menurutnya, aturan di Bali sudah cukup lengkap, tinggal pelaksanaannya yang perlu ditegakkan secara konsisten oleh aparat dan pemerintah.
Prof Dasi juga menyoroti keberadaan kendaraan yang jumlahnya sudah melebihi kapasitas wilayah Bali. Ia menilai perlu ada pembatasan jumlah transportasi, khususnya kendaraan online, yang disesuaikan dengan daya dukung wilayah atau carrying capacity. “Bayangkan jika mobil ada 400 unit tapi wisatawan hanya 200 orang, ini jelas tidak seimbang dan menyebabkan macet,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya legalitas bagi para pengemudi. Forum yang memperjuangkan hak-hak sopir freelance, menurutnya, perlu mendorong anggotanya memiliki izin resmi seperti halnya pemandu wisata. “Kalau tidak punya izin, nanti dianggap organisasi ilegal. Harus ada payung hukum yang jelas,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi momen penting dalam perjuangan pengemudi lokal untuk mendapat perlindungan hukum serta penataan ulang sistem transportasi pariwisata Bali yang berpihak pada masyarakat, berlandaskan budaya, dan mendukung keberlanjutan pariwisata Bali di masa depan. (WIR)