JAKARTA – Kuasa hukum keluarga korban, Martin Lukas Simanjuntak, menyampaikan pernyataan tegas terkait kematian KB, siswa kelas 2 sekolah dasar di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, yang diduga menjadi korban penganiayaan oleh kakak kelasnya. Ia menduga telah terjadi upaya pengaburan fakta dalam proses penyelidikan kasus tersebut.
Pernyataan ini disampaikan Martin dalam konferensi pers yang digelar secara hybrid dari dua lokasi, yakni di Riau dan di Kantor Hukum Martin Lukas Simanjuntak & Partners, Jakarta Timur, pada Sabtu (7/6/2025).
“Anak itu harusnya bermain, belajar, bukan saling membenci apalagi sampai pukul-pukulan,” ujar Martin.
Martin menyesalkan di tengah proses hukum yang sedang berjalan, pernyataan dari pihak kepolisian justru berpotensi membingungkan publik. Ia merujuk pada pernyataan Kombes Asep Darmawan yang menyebut bahwa penyebab kematian KB adalah pecahnya usus buntu yang telah lama terinfeksi dan tidak mendapatkan penanganan medis.
Martin menilai bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan hasil forensik yang menunjukkan adanya luka-luka pada bagian perut, paha, belakang, dan kepala korban. Temuan itu dinilai sesuai dengan keterangan ayah korban, saksi anak, dan teman-teman korban di sekolah.
“Kalau kita berbicara pidana, itu perihal kesesuaian alat bukti. Baru setelah itu dilihat apakah ada sebab-akibat. Anak yang sehat jadi tidak sehat kemudian meninggal. Penyebabnya apa? Apakah ada kekerasan? Kalau ada, apakah kekerasan ini bisa dipisahkan dari penyebab kematian?” ujar Martin.
Martin secara tegas menyatakan menyimpulkan kematian KB semata-mata karena penyakit adalah sesuatu yang tidak logis.
“Saya tegaskan di sini, hanya orang bodoh yang menyimpulkan seperti itu. Siapapun dia, saya tidak peduli,” kata Martin.
Ia juga menyoroti diksi “telah lama terinfeksi” dalam rilis kepolisian. Menurutnya, penggunaan kata “lama” bersifat multitafsir dan tidak menjelaskan secara konkret sejak kapan infeksi itu terjadi. Ia menyatakan bahwa KB diketahui dalam kondisi sehat sebelum kejadian pada 14 Mei 2025, dan baru meninggal pada 26 Mei 2025.
Martin juga mengkritik persepsi masyarakat yang langsung menyamakan “usus buntu” sebagai penyakit, padahal menurutnya usus buntu adalah organ tubuh. Yang seharusnya dipertanyakan adalah apakah pecahnya usus buntu tersebut terjadi akibat infeksi biasa atau karena kekerasan.
“Kurang bijak rasanya di tengah suasana duka keluarga korban, lalu seseorang membuat pernyataan pers yang ambigu seperti itu. Apalagi setelah rilis tersebut, muncul pemberitaan dari beberapa media yang menyebutkan anak ini meninggal karena penyakit usus buntu,” tambah Martin.
Ia menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa keluarga korban tetap akan menempuh jalur hukum dan mengawal kasus ini sampai tuntas demi tegaknya keadilan. (MK/SB)