JAKARTA – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan, memberikan kesaksian sebagai ahli yang meringankan dalam sidang Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Dalam kesaksiannya, Maruarar mengibaratkan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah sebagai buah dari pohon beracun yang dapat meracuni seluruh proses hukum.
Kesaksian ini disampaikan dalam perkara dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR serta dugaan perintangan penyidikan yang menjerat Hasto. Pada sesi pemeriksaan, kuasa hukum Hasto, Febri Diansyah, menanyakan soal keabsahan penggeledahan badan terhadap pihak selain tersangka.
“Jadi kalau di Pasal 1 angka 18 itu, penggeledahan badan itu hanya dimungkinkan untuk badan dan pakaian tersangka. Aturannya begitu tuh, jadi tidak dibahas tentang badan atau pakaian pihak lain, yang ada hubungan kah dengan tersangka atau ada hubungan dengan pihak-pihak yang lainnya,” ujar Febri.
Ia lalu menegaskan kembali pertanyaan mengenai keabsahan tindakan tersebut.
“Spesifik disebut penggeledahan badan adalah penggeledahan badan dan pakaian terhadap tersangka, tentu yang dilakukan penyidik. Makanya dari aspek kepastian hukum, kami ingin bertanya apakah sah kemudian penggeledahan dilakukan terhadap pihak lain yang bukan tersangka?” lanjutnya.
“Ya saya kira kalau dari sudut perintahnya itu sudah jelas tersangka, ya tidak termasuk yang lainnya,” jawab Maruarar.
Pertanyaan pun dilanjutkan terkait penyitaan barang milik pribadi melalui penggeledahan yang dianggap tidak sah secara hukum.
“Nah ketika penggeledahan yang dilakukan, ini penggeledahan badan kan untuk penyitaan. Kalau ada barang-barang milik pribadi yang kemudian disita di sana. Kami ingin meminta pendapat ahli ini dihubungkan dengan hak milik pribadi tadi yang hanya boleh diambil melalui proses yang sah, ini prosenya kan kalau bukan terhadap tersangka jadi tidak sah begitu, bener ya saudara ahli?” tanya Febri.
“Apa konsekuensi terhadap barang milik pribadi orang lain yang disita secara tidak sah? Apa konsekuensi hukumnya itu saudara ahli?” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Maruarar menjelaskan bahwa hanya alat bukti yang diperoleh secara sah yang bisa diajukan dalam persidangan.
“Jadi kalau di undang-undang Mahkamah Konstitusi secara tegas sebenarnya dikatakan setiap alat bukti yang boleh diajukan di sidang itu adalah yang diperoleh dengan cara-cara yang sah. Jadi kalau sebenernya ini dibutuhkan dalam KUHAP sebenarnya, tetapi sampai kepada Mahkamah Konstitusi, kalau ada pemohon atau siapapun mengajukan alat bukti dalam mendukung dalilnya tapi dia peroleh dengan cara mencuri alat bukti itu, itu tidak boleh,” ujar Maruarar.
Ia pun mengibaratkan alat bukti tidak sah sebagai buah dari pohon beracun, yang mencemari proses hukum.
“Suatu alat bukti yang diperoleh tidak sah yang melanggar aturan itu tidak boleh dipergunakan. Exclusionary, tidak boleh dipakai dan kalau itu dipakai itulah yang menjadi buah pohon beracun. Semua prosesnya itu akan beracun, the poison of tree, the fruit of the poison tree,” lanjutnya.
“Tidak bisa dipakai kalau kita ambil acuannya seperti itu, kalau kita makan itu buah beracun barangkali kita mati begitu. Jadi ini dalam proses itu, proses itu menjadi mati atau tidak sah,” tambah Maruarar.
Sebagai informasi, Hasto merupakan terdakwa dalam perkara menghalangi penyidikan kasus suap dengan tersangka buron Harun Masiku. Ia diduga menyulitkan KPK dalam proses pencarian Harun sejak 2020.
Dalam dakwaan, Hasto disebut memerintahkan Harun untuk merendam ponselnya agar tidak terlacak saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 8 Januari 2020. Ia juga disebut meminta Harun tetap berada di kantor DPP PDIP agar aman dari pelacakan.
Tak hanya itu, Hasto juga disebut memerintahkan stafnya menenggelamkan ponsel menjelang pemeriksaan oleh KPK. Tindakan ini dinilai memperburuk upaya penangkapan Harun yang hingga kini masih buron.
Jaksa menyatakan Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku memberi suap Rp 600 juta kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan demi mengurus PAW Harun sebagai anggota DPR periode 2019–2024. Saat ini Donny telah menjadi tersangka, Saeful telah divonis, dan Harun masih buron. (MK/SB)