Jumat, Juni 13, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ahli Bahasa UI Sebut Komunikasi Politik Penuh Teka-teki di Sidang Hasto Kristiyanto

JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang, dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Harun Masiku dan upaya perintangan penyidikan, dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Dalam keterangannya, Frans menyoroti  komunikasi dalam ranah politik maupun kasus korupsi sering kali disusun secara samar dan penuh teka-teki, sehingga memerlukan analisis yang lebih mendalam.

Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (12/6/2025) itu diawali dengan pertanyaan dari Jaksa KPK Takdir Suhan mengenai penyusunan kalimat dalam komunikasi, khususnya lewat aplikasi WhatsApp.

Ia menyinggung apakah latar belakang keilmuan, jabatan, hingga status sosial turut memengaruhi penyusunan pesan dalam komunikasi digital.

“Dalam menyusun kata-kata, kalimat dalam komunikasi WA, apakah juga tadi basic, kalau tadi ahli juga sampaikan ada latar belakang, keilmuan, kemudian wawasan pengetahuan, level jabatan, status sosial, apakah itu juga menjadi bagian dalam isi kata-kata penentuan, kata-kata penyusunan kalimat dalam teks WA, misalnya?” tanya Jaksa Takdir.

Menanggapi itu, Frans menekankan  komunikasi politik atau dalam kasus korupsi tidak pernah disampaikan secara gamblang. Ia mencontohkan pengalamannya sebagai ahli dalam kasus korupsi yang menyeret mantan Sekjen Golkar, Idrus Marham.

“Jadi misalnya, satu kasus yang saya sebutkan, kasus korupsi yang melibatkan mantan Sekjen Golkar, saya juga ahlinya, dan saya waktu itu bisa menjelaskan arti kalimat-kalimat itu, dan yang paling, dan yang saya alami dalam kasus-kasus korupsi adalah, atau pengalaman saya, teks-teks itu penuh teka-teki, tidak transparan, tidak lugas seperti percakapan biasa,” ujarnya.

“Dan untuk hal seperti ini, sebagai ahli, saya punya pengalaman bahwa teks-teks yang berkaitan dengan politik, sosial, korupsi, dan lain-lain, itu harus diteliti lebih jauh, tidak sederhana,” lanjutnya.

Ketika Jaksa menanyakan apakah komunikasi antara atasan dan bawahan akan semakin kompleks seiring naiknya jabatan, Frans membenarkan. Menurutnya, semakin tinggi jabatan, maka semakin besar kecenderungan untuk menggunakan bahasa yang tidak langsung.

“Kalau pengalaman saya, semakin tinggi jabatan, semakin berusaha untuk menyampaikan sesuatu secara rumit. Jadi harus dianalisis,” jelas Frans.

“Misalnya bahasa politik, ketika seorang menteri berbicara, misalnya ‘akan diamankan’, itu bukan berarti harafiah, seperti kata ‘aman’, bisa berarti akan diteruskan atau akan dihentikan,” tambahnya.

Frans menilai bahasa politik dipenuhi makna konotatif yang tidak bisa dimaknai secara literal. Karena itu, setiap ucapan dalam konteks politik harus dipahami secara utuh dengan mempertimbangkan konteks percakapannya.

Ketika Jaksa bertanya apakah konteks tersebut umumnya sudah dipahami oleh kedua pihak dalam percakapan, Frans menyatakan bahwa pemahaman konteks itu adalah hal yang lumrah dalam komunikasi antar dua pihak atau lebih.

“Betul sekali. Jadi dalam konteks antara dua pembicara atau lebih di dalam sebuah WA misalnya percakapan WA atau percakapan langsung pun, orang bisa menggunakan kata-kata yang sudah dipahami oleh keduanya atau orang satu kelompok itu,” jelas Frans.

“Jadi konteksnya itu mereka pasti sudah paham. Tidak mungkin tiba-tiba membicarakan sesuatu jadi tanpa konteks. Kalau seperti itu pasti dari satu pihak mengatakan, ‘ini dalam hal apa? Ini kaitannya apa? Ini maksudnya apa?’ Kalau pertanyaan seperti itu berarti yang satu pihak mendengar misalnya atau lawan bicaranya itu belum masuk di dalam konteks. Tapi kalau dia katakan ‘oke, oh iya setuju, mantap’, atau apalah, itu berarti dia sama konteksnya dengan si pembicara itu,” lanjutnya.

Seperti diketahui, Hasto didakwa dalam kasus upaya merintangi penyidikan terkait dugaan suap terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ia dituduh menyuruh Harun Masiku untuk merendam telepon genggamnya ke dalam air agar tidak terlacak oleh KPK saat operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020. Selain itu, Hasto juga disebut memerintahkan Harun untuk tetap berada di kantor DPP PDIP agar tidak tertangkap.

Tak hanya itu, Hasto juga dituduh menyuruh anak buahnya untuk menenggelamkan ponselnya sebagai bentuk antisipasi terhadap penggeledahan oleh penyidik KPK. Perbuatannya disebut sebagai salah satu alasan mengapa Harun Masiku hingga kini belum juga ditemukan.

Jaksa menilai Hasto juga turut serta dalam memberikan suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan agar mengurus PAW Harun Masiku sebagai anggota DPR periode 2019–2024. Suap tersebut diberikan bersama orang-orang terdekatnya, yaitu Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku. Dari keempatnya, hanya Harun Masiku yang masih buron hingga saat ini. (MK/SB)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER