DENPASAR – Nunu -bukan nama sebenarnya- masih mengingat pertengkarannya dengan seorang pria di sebuah hotel di Jimbaran, Badung, Bali beberapa waktu lalu. Dia kesal lantaran lelaki tersebut ingkar dengan kesepakatan.
Pria hidung belang itu mulanya sepakat membayar jasa pekerja seks komersial (PSK) sebesar Rp 1 juta. Namun, setelah kencan singkat, pria itu hanya membayar setengahnya.
“Nggak worth it sama sekali buat saya, sampai sana (dibayar) Rp 500 ribu. Padahal, deal-nya itu Rp 1 juta,” kenangnya kepada detikBali di sebuah hotel di Denpasar, Rabu (28/12/2022).
Nunu merupakan sopir agen perjalanan (travel) di Bali. Pria berusia 24 tahun itu menjadi makelar antara tamu yang dibawanya dengan pelacur sejak 2018. Nunu menjadi makelar di bisnis esek-esek karena mencari uang tambahan. Duit itu dipakainya untuk membeli rokok, membayar listrik, hingga kos.
Nunu mendapatkan komisi sebesar 15 persen dari setiap transaksi kencan singkat short time antara pelacur dengan pria hidung belang. Komisi bertambah menjadi 25 persen saat Nunu bisa mendapatkan pria hidung belang yang ingin kencan lama atau long time.
Besaran komisi itu biasanya ditentukan oleh mami, sebutan muncikari, para perempuan penghibur tersebut.
Nunu sebetulnya tidak mengenal semua pelacur yang ia antarkan ke tempat tamu menginap. Pria berkulit gelap itu lebih kenal dengan mami yang para kembang latar tersebut.
Nunu menerangkan seorang makelar bisnis esek-esek tidak hanya berperan sebagai penghubung antara wanita penghibur dan pria hidung belang. Makelar juga berperan sebagai bodyguard atau pelindung para pelacur tersebut.
Sesekali ada tamu yang berbuat onar pada perempuan penghibur tersebut. Saat itu, PSK segera menghubungi para makelar untuk diselamatkan. “Kami punya taruhan nyawa di situ,” kata Nunu.
Menurut Nunu, komisi sebesar 15 persen itu tak sepadan dengan risiko yang harus dia hadapi. “Karena nyawa dia (PSK), nama bosnya (maminya), nama tempat itu di tangan driver semua,” ungkapnya.
Nunu kerap tawarkan pelacur ke bule. Selengkapnya klik halaman berikutnya. Ia tak hanya menghubungkan pria lokal dengan PSK. Ia juga kerap menghubungkan wisatawan mancanegara (wisman) dengan para pelacur itu.
Menurut Nunu, wisman dari negara-negara Eropa kerap menawar rendah tarif kencan dengan PSK. “Mereka ribet di budget,” ujarnya.
Nunu menerangkan beberapa bulan lalu sempat mengantar tiga bule dari Denmark yang berwisata di Bali. Para pelancong itu langsung memberikan jadwal liburan mereka selama di Pulau Dewata. Berhubungan seksual masuk dari agenda wisata itu.
Tetamunya itu meminta pelacur premium dengan durasi kencan panjang atau long time. Harga kencan panjang umumnya tiga kali lipat dari short time.
Nunu kemudian menyodorkan salah satu PSK dengan tarif Rp 8 juta untuk long time. Sang tamu menawarnya hingga menjadi Rp 5 juta. Alasannya, menurut si bule, perempuan penghibur yang disodorkan bukan kategori premium.
Nunu terus bernegosiasi dengan wisman tersebut. Setelah satu jam tawar-menawar, akhirnya mereka sepakat di harga Rp 7,8 juta.
Kasubdit IV Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Bali AKBP Ni Luh Kompiang Srinadi menuturkan, polisi bisa menjerat operator atau penghubung antara PSK dan pria hidung belang.
“Operator kan dapat keuntungan, dia mempekerjakan orang-orang dan kami bisa ke (tindak pidana) eksploitasinya,” tuturnya. (nor/gsp/dtc)