Rabu, Januari 8, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dispar Bali Harap Pajak Layanan Spa Ditetapkan Seusai Putusan MK

DENPASAR – Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Bali Tjokorda Bagus Pemayun berharap besaran pajak layanan spa turut ditetapkan dan tak disamakan dengan pajak hiburan seperti diskotek atau karaoke. Hal ini menyusul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 terkait penggolongan spa.

Putusan tersebut menyatakan spa sebagai bagian dari layanan kesehatan tradisional, bukan termasuk kategori hiburan seperti diskotek atau karaoke. Hanya saja, MK tidak mengubah pasal yang mengatur besaran pajak bagi spa.

“Saya berharap tarifnya harus ditetapkan juga. Artinya, tidak sebesar yang itu (pajak kategori hiburan) karena spa ini bukan hiburan. Tarifnya harus bisa jauh di bawah itu,” ujar Pemayun saat dihubungi detikBali, Senin (6/1/2025).

Pemayun mengapresiasi putusan MK yang menggolongkan spa sebagai layanan kesehatan tradisional. Menurutnya, spa juga erat dengan budaya Bali sehingga banyak turis yang tertarik merasakan layanan tersebut.

“Bali dicari turis untuk healing (penyembuhan) dan wellness (kesehatan). Spa di Bali ini luar biasa, makanya banyak dicari oleh turis,” ujar Pemayun.

Dilansir dari detikNews, MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 terkait penggolongan spa. Permohonan diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, Perkumpulan ASTI, PT Cantika Puspa Pesona, CV Bali Cantik, dan PT Keindahan Dalam Jiwa dkk.

Dalam permohonannya, para penggugat meminta MK mengubah Pasal 55 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. MK pun mengatakan layanan seperti mandi uap/spa memiliki manfaat kesehatan berbasis tradisi lokal sehingga harus dianggap sebagai bagian dari layanan kesehatan tradisional.

“Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, dimasukkannya ‘mandi uap/spa’ dalam kelompok diskotek, karaoke, klub malam, dan bar, menjadikan hal tersebut sebagai jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi atau keramaian untuk dinikmati, yang tidak sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menyebabkan kerugian bagi para Pemohon berupa pengenaan stigma yang negatif,” ujar MK dalam putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).

Meski demikian, MK tidak mengubah pasal yang mengatur besaran pajak bagi mandi uap/spa. MK menilai tidak ada diskriminasi dalam pasal yang mengenakan pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen bagi layanan mandi uap/spa sebagaimana pajak untuk diskotek, karaoke, ataupun kelab malam.

Di sisi lain, MK juga menilai para pengusaha mandi uap/spa tidak akan dikenakan pajak ganda dengan adanya aturan itu. Alasannya, subjek hukum pajak barang jasa tertentu (PBJT) adalah konsumen. Artinya, PBJT dibayarkan oleh konsumen, bukan pengusaha. MK menilai tidak ada pajak ganda bagi pelaku usaha spa/mandi uap. (dtc/sb)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER