DENPASAR – Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekartono, yang akrab disapa BHS meminta sumber daya manusia (SDM) penjaga laut dan pantai dievaluasi total buntut kecelakaan kapal di Perairan Sanur, Bali.
Dalam keterangan resmi yang diterima ANTARA di Denpasar, Rabu ia menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem keselamatan pelayaran, mulai dari kelayakan kapal, SDM yang menjaga laut dan pantai untuk penyelamatan manusia dan barang pada saat terjadi kecelakaan, hingga manajemen keselamatannya.
“Permasalahan keselamatan ini menyangkut banyak aspek. Dari sisi kapal, harus sesuai standar klasifikasi seperti notasi A101T atau A101P, A101 L dan A101 T yang disesuaikan dengan jarak pelayaran dan rute terhadap daratan terdekat,” kata BHS
Ia juga menekankan pentingnya SDM yang kompeten.“Setiap awak kapal wajib memiliki sertifikat pelaut yang sah dan jumlah kru harus sesuai standar keselamatan. Ini perlu dievaluasi serius,” katanya.
Menurutnya, sistem manajemen keselamatan juga harus jelas mengacu pada standar internasional seperti IMO dan SOLAS atau standar domestik seperti Non-Convention Vessel Standard (NCVS). Namun yang lebih krusial, menurut BHS, adalah kesiapsiagaan eksternal dari lembaga penyelamat negara seperti Basarnas, Polair, dan KPLP.
Dia menjelaskan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, bahkan Filipina dan Thailand, kawasan wisata bahari selalu diawasi oleh coast guard atau tim penyelamat resmi.
Namun, di Indonesia, penyelamatan masih mengandalkan nelayan seperti di Danau Toba KM Sinar Bangun, Bengkulu KM Tiga Putra dan Labuan Bajo KM Raja Bintang 02. “Ini menandakan kegagalan lembaga-lembaga seperti Kamla, Polair, dan KPLP yang fungsinya tumpang tindih tapi tidak berjalan saat dibutuhkan,” katanya.
BHS menyayangkan lambatnya respons penyelamatan dalam insiden di Sanur yang memakan waktu lebih dari dua jam tanpa kehadiran satu pun institusi resmi penyelamat.
“Beruntung seluruh penumpang selamat. Tapi ini menjadi citra buruk bagi pariwisata Indonesia di mata dunia. Tidak aman, tidak safety, dan tidak secure dan bahkan terjadi travel warning bagi turis Australia dari pemerintahnya karena dianggap pariwisata pantai dan laut di Indonesia jarang yang terjaga,” ujarnya.
Ia juga mendorong Kementerian Pariwisata untuk segera mengoordinasikan seluruh sektor terkait dalam satu forum khusus perlindungan keselamatan wisata bahari dan melakukan penertiban fungsional. Bahkan, menurut BHS, Kemenpar perlu menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan mensosialisasikan ini kepada wisatawan mancanegara.
BHS juga menekankan pentingnya realisasi asuransi penumpang serta penyidikan tuntas oleh penyidik Kementerian Perhubungan dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
“Kurangnya jaket keselamatan di kapal juga perlu dievaluasi. Apakah ini sudah memenuhi aturan atau justru masih diabaikan,”pungkasnya.
Sebelumnya, sebuah kapal cepat (fast boat) dikabarkan mengalami kecelakaan pada Rabu 4 Juni 2025 saat dalam perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Sanghyang Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung menuju ke Pelabuhan Sanur, Denpasar.
Beruntung, 89 penumpang bisa diselamatkan dan tidak ada korban jiwa. (ANT/SB)