DENPASAR – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas mulai membangun kerja sama dalam pengembangan ekosistem transportasi publik berupa bus listrik di Bali bersama Pemerintah Korea Selatan (Korsel).
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati di Denpasar, Rabu, mengatakan pengembangan bus listrik ini dilakukan untuk mencapai target emisi nol bersih tahun 2060 dan transportasi merupakan sektor kedua tertinggi penyumbang emisi selama ini.
Untuk mencapai target ini dibutuhkan langkah-langkah, dan Bali khususnya wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) dijadikan percontohan selama tiga tahun ke depan.
“Jadi Bali memberikan wadah mengujicobakan instrumen, pastinya ada trial and error jadi bukan hanya belajar yang baiknya tapi juga kelemahannya, cari solusinya mudah-mudahan 3 tahun ini Bali bisa menjadi model sukses untuk kita kembangkan di 20 kota besar lainnya,“ kata dia.
Adapun ekosistem yang dimaksud seperti insfrastruktur pendukung bus listrik, mulai dari pengadaan busnya, stasiun pengisian daya, rute, trotoar, hingga menyiapkan operator di lapangan.
Proyek uji coba sistem kendaraan listrik dan pengembangan peta jalan investasi transportasi hijau di Bali ini bernilai 8,8 juta dolar AS dengan pelaksanaannya didukung oleh mitra kedua negara yaitu Global Green Growth Institute (GGGI).
Vivi menyebut hingga Desember 2027 nanti GGGI yang akan membantu dalam hal studi kelayakan, pelaksanaan, finansial, dan penyediaan bus listrik sampai ekosistem pendukungnya.
Kepala Perwakilan GGGI Indonesia Jaeseung Lee bercerita bahwa ini merupakan kerja sama pertama dengan Pemerintah Indonesia dalam sektor kendaraan listrik setelah 10 tahun menjadi mitra.
Menurut dia, yang harus dilakukan jika Kementerian PPN/Bappenas ingin menarik minat masyarakat dalam menggunakan transportasi publik ini, harus memikirkan keinginan masyarakat sendiri, yaitu mendapat layanan yang nyaman namun tetap murah.
Jika tidak, maka masyarakat akan tetap konsisten menggunakan kendaraan pribadi, ditambah masih adanya pemikiran bahwa kendaraan listrik lebih mahal dari konvensional akan membuat pemerintah semakin sulit menggencarkan penggunaan kendaraan ramah energi dan mencapai target emisi nol bersih.
Direktur Biro Perubahan Iklim dan Kerja Sama Internasional Kementerian Lingkungan Hidup Republik Korea Suy Hyun Lee menyatakan dukungannya terhadap pengembangan proyek bus listrik ini, bahkan lebih jauh negaranya menawarkan kerja sama lain terutama dalam bidang lingkungan.
Ia menyadari bagaimana perubahan iklim membawa dampak pada bidang lingkungan, ekonomi, pariwisata, dan sosial di Indonesia, contoh saja kopi dan gula yang sulit panen saat musim kemarau dan berdampak juga bagi negara importir.
“Kita harus mengatasi perubahan iklim agar tidak terjadi kekeringan tajam, kita bisa kolaborasi di bidang lain pada berbagai area seperti sumber daya air dan limbah, juga tangkapan gas rumah kaca, jadi saya mendukung kolaborasi untuk penanganan perubahan iklim,” ujarnya.
Atas kemitraan Indonesia dan Korea ini, Kepala Dinas Perhubungan Bali IGW Samsi Gunarta mengaku senang karena proyek pilot project ini turut membantu target Pulau Dewata mencapai emisi nol bersih 2045.
Ia menyampaikan bahwa sebenarnya Bali sendiri sudah memiliki transportasi publik berupa bus yang nyaman, namun bus berbahan bakar diesel itu pada akhirnya mengeluarkan asap polusi yang tidak sejalan dengan peta jalan Bali menuju energi nol bersih.
“Oleh karena itu, kamu akan mulai bus listrik di wilayah Sarbagita karena paling lengkap, mereka punya sustainable urban mobility plan yang disusun bersama dengan Pemprov Bali dan Kementerian PPN/Bappernas, kemudian kami sudah punya rencana aksi daerah berapa jumlah kendaraan yang perlu dipersiapkan, lalu kita sudah memiliki beberapa perencanaan yang berjalan,” ujarnya.
Setelah Sarbagita, Pemprov Bali menargetkan proyek pengembangan bus listrik dilanjutkan hingga Klungkung, lantaran tak lama lagi akan berdiri Pusat Kebudayaan Bali (PKB) sebagai area pertumbuhan ekonomi baru. (ant/sb)