DENPASAR – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, resmi menghentikan penyidikan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) jalur fast track di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
Hal itu dikatakan Kepala Kejati Bali, Dr Ketut Sumedana, di Denpasar, Senin (24/3/2025) menegaskan, penghentian perkara atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ini dilakukan karena tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke persidangan.
“Kasus Fast track sudah ditutup, alasan yang paling mendasar itu tidak cukup bukti, tidak layak untuk dilakukan persidangan,” ujar Sumedana, di Lobby Kejati Bali, Denpasar, Senin (24/3/2025).
Dengan dikeluarkannya SP3, status tersangka dalam kasus ini pun gugur. Sumedana menyatakan secara otomatis, ada proses pemulihan nama baik bagi pihak yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka.
“Ya sudah terima SP3 semua. Kita nggak perlu umumkan yang begitu,” katanya.
Dalam kasus OTT yang melibatkan lima petugas Imigrasi sebelumnya, karena melakukan pungutan liar (Pungli) di fasttrack alias jalur cepat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Tuban, Kuta, Badung pada Selasa (14/11/2024).
Saat OTT, diduga para petugas imigrasi tersebut mematok biaya pungutan liar antara Rp 100.000 hingga Rp 250.000 per orang untuk warga negara asing yang menggunakan layanan fast track. Aksi pungutan liar tersebut diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun dan melibatkan sejumlah petugas imigrasi.
Namun dalam proses penyidikan tidak dapat menemukan bukti signifikan. Penyidik awalnya berharap menemukan jumlah uang yang signifikan dalam brankas para tersangka. Namun, setelah dilakukan ditelurusi lebih lanjut, temuan tersebut tidak sesuai dengan perkiraan awal.
“Kan cuma Rp 250.000. Kita dulu berharap itu ada uang yang banyak di brankas itu. Ternyata memang tidak ada,” jelasnya.
Sebelumnya, Kejati Bali sempat mengumumkan adanya temuan uang Rp 100 juta dalam perkara ini. Namun, Sumedana menegaskan uang tersebut berasal dari rekening pribadi tersangka. “Kalau ada (uang di brankas), ya hari itu sudah diambil, itu di-scan dari rekeningnya dia,” ujarnya.
Sumedana menegaskanbahwa dalam proses hukum, terdapat beberapa kemungkinan setelah suatu perkara masuk tahap penyidikan. “Perkara itu hal yang biasa, perkara kalau sudah di penyidikan ada tiga kemungkinan. Satu, dilanjutkan ke tahap penuntutan. Kedua, bisa dihentikan kalau tidak cukup bukti. Ketiga, bisa diserahkan ke lembaga lain. Atau sudah ditutup demi hukum, jadi ada empat,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan, Kejati Bali tidak melakukan jebakan atau kriminalisasi dalam kasus ini. “Proses hukum itu tidak ada istilah jebak-menjebak. Biasanya kan begitu, kalau kita lakukan penangkapan pasti ada orang ngomong ini kriminalisasi. Kedua, ini pasti penjebakan. Itu hal yang biasa. Yang ada, setelah kita melakukan penelitian, ternyata memang tidak layak untuk disidang,” ungkapnya. (WIR)