Para pemain Shakhtar Donetsk & Dynamo Kyiv terjebak berhari-hari di sebuah bungker hotel sebelum akhirnya bisa melarikan diri ke Amerika Selatan
Sekitar seminggu yang lalu, bek Shakhtar Donetsk asal Brasil, Marlon Santos, masih bersiap-siap menyambut paruh kedua musim sepakbola Ukraina bersama rekan-rekannya.
Namun, semuanya berubah saat Rusia menyerang. Mantan pemain Barcelona itu baru saja tiba di Kyiv, markas Shaktar saat ini – kota Donetsk sekarang menjadi zona konflik antara tentara Ukraina dengan separatis Rusia semenjak 2014 – pada 20 Februari, setelah melakoni latihan pramusim di Turki.
Namun, empat hari setelah skuad Shakhtar mendarat, liga Ukraina dihentikan akibat dimulainya pemboman yang dilakukan Rusia, dan situasi semakin parah begitu pasukan yang dikomandoi Presiden Vladimir Putin mulai memasuki perbatasan.
Buat Marlon, kompatriotnya – Shakhtar diperkuat 11 pemain Brasil – dan rakyat Ukraina, mimpi buruk baru saja dimulai.
“Dunia sekarang dalam kekacauan,” ucap Marlon kepada Mundo Deportivo dari bungker sebuah hotel di Kyiv, Kamis (3/3) waktu setempat, di mana mereka mengungsi dari hujan bom Rusia.
“Kami terlindungi di dalam hotel, tetapi kami menginginkan solusi. Ini situasi mengerikan, kami ketakutan.”
“Ada keluarga kami di sini, anak-anak dan pasangan kami, saya juga bersama ibu mertua, kami ingin merasa aman.”
Lima hari kemudian, Marlon akhirnya tiba di bandara Galeao di Rio de Janeiro, bersama dengan istri, anak, dan ibu mertuanya.
Pemain Shaktar dan Dynamo Kyiv kontingen Brasil lainnya juga sudah tiba di tempat yang aman, begitu pula dengan duo Argentina Claudio Spinelli dan Francisco Di Franco, yang bersaksi dibangunkan suara bom di kota Dnipro.
Sementara, Marlon dan rekan-rekannya melakoni perjalanan mengerikan dan tak berkesudahan melintasi wilayah yang kini menjadi zona perang.
Mereka naik kerta dari Kyiv ke Chernivtsi yang terletak di barat daya Ukraina setelah menghabiskan dua hari di bungker hotel, berangkat ke stasiun sembari mengibarkan bendera Brasil di luar jendela sebagai bentuk protes dan netralitas mereka dalam konflik tersebut.
Mereka lantas melanjutkan perjalanan dengan bus ke Moldova dan lanjut hingga Rumania, dan dari sana mereka bisa terbang ke Amerika Selatan.
Selama perjalanan, Marlon memuji usaha Kementrian Luar Negeri Brasil dan UEFA, yang presidennya, Alexander Ceferin, mengintervensi secara pribadi untuk menjamin keamanan perjalanan mereka.
Namun begitu tiba di Brasil, Marlon tetap mengisahkan kengerian yang harus ia lalui di Ukraina: “Ada sensasi teror dan keputusasaan di setiap momennya. Kami mendengar gemuruh peluru dan ledakan bom… situasi yang mengerikan.”
Salah satu karakteristik dari konflik seperti ini, meski berdarah dan destruktif, adalah bahwa ia menciptakan pahlawan-pahlawan baru secara instan. Itulah Junior Moraes, rekan senegara Marlon dan kolega di Shakhtar, yang mengikutinya meninggalkan Ukraina di bawah bayang-bayang invasi Rusia.
Bahkan kalau boleh dibilang, situasi Moraes lebih rumit lagi. Sebagai warga Ukraina hasil naturalisasi, sang striker terancam diwajibkan memenuhi panggilan bertempur oleh dekrit yang dikeluarkan pemerintah setempat, yang melarang laki-laki berusia antara 18 hingga 60 tahun untuk pergi begitu pertempuran dimulai.
Pria 34 tahun itu, yang sudah tampil 11 kali buat timnas Ukraina, pada akhirnya tetap berhasil keluar perbatasan ke tempat yang lebih aman, dan Marlon menyoroti jasa Moraes sebagai penutur fasih bahasa Ukraina dalam memastikan keamanan kawanan yang melarikan diri itu.
“Ada banyak orang yang siap mempertaruhkan segalanya, seperti Junior Moraes, yang berhasil keluar dan mendapatkan makanan dan selimut buat anak-anak,” jelas Marlon.
“Itu menenangkan kami dan kami sama-sama tetap tenang dan mencari solusi untuk keluar dari tempat itu.”
Moraes lalu menyumbang hingga lebih dari $50.000 (sekitar Rp718 juta) buat pemerintah Ukraina sebagai kontribusi dalam upaya perlawanan, dan juga menyoroti intervensi Ceferin, dengan berkata kepada New York Times bahwa panggilan telepon yang ia terima dari presiden UEFA di tengah-tengah masa pengungsiannya di Kyiv itu sebagai “tiga menit paling menenangkan sepanjang hidup saya.”
Buat Marlon, Junior Moraes, dan semua kontingen Brasil, meninggalkan Ukraina dengan aman masih belum mengakhiri dilema mereka.
Mereka masih harus menghadapi ketidakpastian selama berpekan-pekan bahkan mungkin berbulan-bulan di saat konflik tak henti-hentinya memanas, tanpa tahu betul kapan atau bahkan apakah mereka bakal bisa kembali ke klub masing-masing.
Bahkan buat mereka yang bisa melarikan diri dari kengerian di Ukraina, trauma psikologis yang mereka alami mungkin butuh waktu untuk sembuh, sehingga sepakbola menjadi prioritas kesekian seiring usaha mengembalikan kewajaran setelah berkumpul kembali dengan keluarga dan orang-orang terkasih.
Untuk saat ini, buat semua pemain yang terdampak di seluruh dunia dan semua yang masih mendengar bom dan deru peluru di Ukraina, mari kita doakan resolusi segera atas konflik yang kini berubah menjadi krisis hak asasi manusia penuh malapetaka. (*/goal)