BADUNG – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menekankan pentingnya literasi digital kepada calon pekerja migran untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Pendidikan kepada publik, peningkatan kesadaran tak hanya oleh kami tapi juga pemerintah daerah,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro di sela Konferensi Regional ASEAN terkait TPPO di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Rabu.
Bahkan, lanjut dia, edukasi perlu dilakukan sejak dini, misalnya dimulai saat di bangku sekolah menengah atas (SMA) terkait hak pekerja terutama bagi mereka yang berminat bekerja di luar negeri.
Adapun sindikat perdagangan orang memanfaatkan korban yang terdesak karena masalah ekonomi atau utang sehingga korban tidak lagi menyaring tawaran pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi.
Apalagi modus sindikat TPPO juga menggunakan sarana media sosial untuk menawarkan iklan lowongan pekerjaan yang direkrut melalui penipuan daring (‘scamming’) memanfaatkan media sosial.
Sejak 2020, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI mencatat banyak WNI terjebak di perusahaan online scamming yang sebagian besar di kawasan Asia Tenggara dan mengalami eksploitasi ketenagakerjaan.
Para pelaku merekrut korban untuk dipekerjakan secara paksa di negara Asia Tenggara dan beberapa di Timur Tengah untuk menipu secara daring atau bekerja di judi daring.
Para korban TPPO itu mengalami penahanan paspor, kontrak kerja yang tidak jelas, jam kerja berlebihan hingga kekerasan fisik dan verbal.
Komnas HAM RI mencatat data dari Kemenlu RI yang menyebutkan selama 2020-2022 terdapat 1.200 pekerja migran Indonesia menjadi korban TPPO di ASEAN. Pada 2022 jumlahnya mencapai angka yang signifikan yakni 752 kasus.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat total 5.848 pekerja migran diselamatkan dari potensi TPPO.
Adapun korbannya tidak memandang gender, meski perempuan dan anak-anak menjadi kalangan yang rentan menjadi korban TPPO.
Komnas HAM mencatat kawasan ASEAN memiliki aliran pekerja migran yang tinggi dengan estimasi per tahun mencapai 10 juta pekerja dengan 50 persen di antaranya adalah wanita.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat peningkatan korban TPPO dari 297 orang pada 2018 meningkat menjadi 752 orang pada 2022. (ant/sb)