KARANGASEM – Salah satu daerah yang masih melestarikan proses pengolahan garam tradisional di Bali adalah Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Karangasem. Tianyar menjadi salah satu desa yang dekat dengan pesisir pantai sehingga pengolahan garam menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat di sana.
“Sekitar tahun 1975 sudah membuat garam. Namun, dahulu menggunakan palungan (batang lontar dibelah dua) untuk menjemur, sekarang sudah menggunakan terpal,” ungkap Gede Raka, salah satu penduduk Desa Tianyar yang menjadi petani garam saat ditemui detikBali di Pantai Segara Tianyar, Minggu (3/11/2024).
Dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi, beberapa alat dalam pembuatan garam Desa Tianyar kian berkembang. Meski demikian, proses pembuatan garam di Desa Tianyar masih tetap mempertahankan unsur tradisional.
“Zaman dahulu sebelum ada seng seperti sekarang, proses pengambilan air pantai menggunakan daun lontar yang disulam rapat atau orang sini menyebutnya kemoboan,” imbuh Raka.
Bagi masyarakat awam, pembuatan garam tradisional dinilai sangat rumit. Namun, sebagian besar penduduk Desa Tianyar sudah terbiasa melihat proses pembuatan garam tradisional sejak kecil.
Berikut proses pembuatan garam yang dijelaskan oleh Raka:
Pertama membuat pundukan dan tebian (lahan kosong yang dibuat dari tanah dan diletakkan 20 sentimeter di atas pasir pantai). Pundukan dan tebian dibuat menggunakan tanah liat (tanah nyadnyad). Tanah ini bisa didapat setelah ada banjir.
Selanjutnya siram tebian dengan air pantai sampai kering. Setelah kering, di-gau (keruk) dengan ketebalan 2 cm menggunakan bangkrak (alat keruk tradisional) lalu diaduk aduk sampai hancur.
Setelah hancur, tanah yang sudah tercampur air pantai tadi dikumpulkan. Setelah terkumpul, dinaikan ke tinjung (tempat penyulingan air laut) lalu diinjak-injak agar padat dan tidak lolos.
Selanjutnya, diisi air pantai kembali sekitar 7 tegen (490 liter) dan tinggal menunggu proses penyulingan hingga besok pagi. Besok paginya, hasil sulingan tersisa tinggal 2 tegen (140 liter). Air bekas sulingan disebut dengan “nyah”.
Nyah kemudian dijemur menggunakan terpal. Setelah 7 hari, garam siap untuk dipanen.
Proses pembuatan garam Desa Tianyar berlangsung saat musim kemarau, yakni dari Juni hingga Desember. Proses pembuatan garam tradisional di Desa Tianyar hampir mirip dengan garam Kusamba. Perbedaannya terletak pada bahan utama sebelum proses penyulingan. Garam Kusamba menggunakan pasir lembut, sedangkan garam Desa Tianyar menggunakan tanah nyad-nyad.
Raka menuturkan dengan 2 are lahan dapat menghasilkan 110 kilogram (kg) garam dalam satu minggu. Garam tradisional Desa Tianyar biasanya dijual dengan harga Rp 5 ribu per kg.
Menurut Raka, pembeli garam tidak akan pernah habis. Sebab, garam menjadi kebutuhan setiap orang dalam meracik makanan. Petani garam Desa Tianyar pun tidak pernah kesusahan untuk menjual garamnya.
“Biasanya ada aja yang mencari langsung ke sini, bahkan warga setempat membeli sampai 5 kg sebagai stok,” ungkap laki-laki berusia 70 tahun itu.
Rasa asin pada garam tradisional Desa Tianyar dengan lebih pekat dibandingkan garam modern yang bercampur pahit. Hal itu diungkapkan Gede Alit (55), penduduk Desa Tianyar Barat sekaligus pelanggan garam tradisional Desa Tianyar.
“Saya lebih suka garam sini karena dikit saja sudah asin, pakai garam-garam yang putih halus itu tidak begitu bagus dan kadang-kadang pahit. Kalau ini juga kan tradisional pasti lebih alami,” kata Alit saat ditemui detikBali saat membeli garam di Pantai Segara Tianyar, Minggu, (3/11/2024). (dtc/sb)