Oleh Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Dekan FKIP Universitas Dwijendra
TUJUAN komunikasi dapat tercapai apabila peserta wicara dapat saling mentranmisi informasi dan dapat saling menjaga hubungan sosial. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Brown dan Yule (dalam Spencer dan Oatey (2001:2) bahwa fungsi bahasa sebagai fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional menekankan pada bagaimana informasi disampaikan dengan akurat sehingga apa yang dimaksud oleh pembicara dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara sebalikna, fungsi interaksional menekankan pada bagaimana peserta komunikasi tersebut saling menjaga hubungan sosial sehingga proses komunikasi dapat berlangsung dengan nyaman (Spencer dan Oatey,2001:2)
Pada fungsi transaksional ini peserta wicara diharapkan dapat melakukan interpretasi pada tingkatan teks dan konteks (Fairclough,1989:142). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada interpretasi teks peserta wicara dihadapkan pada proses interpretasi surface of uttecance. Pada tahap ini peserta wicara melakukan dekode terhadap untaian bunyi yang didengar sehingga bunyi-bunyi tersebut dipahami sebagai kumpulan kata, frasa dan kalimat. Tahapan berikutnya adalah meaning utterance. Peserta wicara menentukan makna dari ujaran-ujaran tersebut dengan mengombinasikan makna dari setiap kata, informasi gramatikal, menangkap makna tersembunyi di balik kalimat-kalimat tersebut dan pada akhirnya peserta wicara dapat menangkap makna keseluruhan ujaran tersebut.
Setiap ujaran yang diproduksi memiliki fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Hal inilah yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi. Peserta wicara dapat menangkap maksud ujaran seseorang dan menjaga hubungan sosial dalam berkomunikasi. Hubungan sosial ini pada prinsipnya menjaga agar lawan bicara tidak terancam mukanya. Berbagai strategi linguistik yang dipakai dalam berkomunikasi. Ada strategi langsung dan tidak langsung. Penggunaan strategi tersebut dipengaruhi oleh konteks situasi terjadinya sebuah tuturan. Begitu pula penggunaan makian dimaknai bergantung pada kontek situasi tuturan. Apabila penutur dan petutur yang sudah akrab, penggunaan makian dalam berbicara tidaklah dianggap tidak sopan.
Apakah makian yang digunakan oleh Rocky Gerung dengan mengatakan Presiden Jokowi “bajingan tolol” itu tidak sopan? Tentu makian Rocky Gerung tidak sopan dan menghina Jokowi sebagai presiden dan sebagai Jokowi secara personal. Apapun alasannya, makian tersebut sangat tidak sopan. Rasa bahasa Rocky Gerung sudah tidak ada. Siapapun boleh mengkritik kebijakan dan program pemerintah tetapi cara mengkritik dengan memakai pilihan kata yang sopan. Rocky Gerung sebagai akademisi dan pengamat politik sebaiknya menggunakan cara mengkritik yang lebih beradab. Kalau cara seperti dipelihara dapat dibayangkan negeri ini pasti tidak pernah sepi dari kegaduhan yang berbau politik. Mengkritik kebijakan pemerintah tidak harus dengan cara memaki.
Menurut Rocky Gerung, kata bajingan yang dirujuknya kepada Jokowi merupakan akronim dari Bahasa Jawa yaitu “Bagusing jiwo angen-angening pangeran” yang disingkat menjadi kata “Bajingan”. Menurutnya kalimat tersebut ternyata memiliki arti yang bagus, yaitu “Baiknya jiwa adalah harapan Tuhan.” Secara antropologi, kata Rocky, kata bajingan ditujukan untuk para kusir gerobak sapi. Mereka, selain membantu distribusi pangan, pada zaman peperangan ikut menyembunyikan para pejuang di bawah jerami. Jadi kusir dokar itu disebut bajingan karena dia berbuat baik kepada manusia. Oleh karena itu disayang Tuhan. Yang ketika kemerdekaan, si bajingan ini menyembunyikan pejuang di bawah Jerami. (diramu dari berbagai sumber). Klarifikasi yang disampaikan Rocky Gerung terhadap asal muasal makna kata bajingan merupakan bentuk pembelaan diri dan mencari pembenaran terhadap cara ketidaksantunannya dalam mengkritik.
Kosa kata dalam setiap bahasa mengalami pergeseran makna. Bisa maknanya meluas atau menyempik. Bahkan suatu kata sama sekali maknanya berbeda dengan makna awal kata tersebut. Kata bajingan diserap (dipinjam) dari bahasa Jawa mengalami perubahan makna ketika kata tersebut digunakan dalam bahasa Indonesia. Bajingan dalam KBBI merujuk kepada kata dasar bajing yang berarti tupai, yakni binatang pengerat yang sering mencuri kelapa dan dianggap mengganggu masyarakat. Kata bajing kemudian diturunkan menjadi kata bajingan untuk menggambarkan sifat jahat dari seseorang yang menjadi sumber keresahan lingkungan masyarakat.
Penggunaan kata yang cenderung kasar dalam mengkritik tidaklah tepat. Apapun alasannya penggunaan kata “bajingan totol” sangat tidak santun apalagi digunakan untuk mengkritik seorang Jokowi yang nota bene merupakan presiden di republik ini. Kalangan akademisi dan pengamat politik hendaknya menggunakan kata-kata yang lebih beradab dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Jangan mempertontonkan “kekasaran” kepada publik. Mengkritik pemerintah boleh saja tetapi pergunakan pilihan kata yang santun bukan dengan cara memaki-maki. (***)