BULELENG – Ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng belum bisa membaca dengan lancar. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng I Made Sedana, Rabu (9/4/2024).
Sedana mengungkapkan berdasarkan data yang dihimpun dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng terdapat sekitar 400-an siswa SMP yang mengalami kesulitan membaca. Ratusan siswa tersebut berasal dari 60 SMP di Kabupaten Buleleng.
“Angkanya mengejutkan, jadi ada 400-an anak yang tidak bisa membaca dengan lancar, artinya masih mengeja. Tidak selayaknya anak SMP yang membaca sudah tidak menjadi persoalan,” katanya.
Sedana menjelaskan faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa.
Ia menyebut pemahaman yang keliru terhadap konsep pembelajaran tuntas menyebabkan siswa tetap naik kelas, meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca. Hal ini, Sedana berujar, justru menyebabkan beban pendidikan dasar berpindah ke jenjang SMP. Pendidikan dasar itu harusnya sudah tuntas di jenjang sekolah dasar (SD).
“Kalau dicermati, program tuntas itu implementasinya tuntaskan mereka, baru naikkan. (Jadi ini) seperti memindahkan persoalan dari SD ke SMP,” kata Sedana.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan persoalan ini terjadi karena faktor lain seperti faktor disleksia, pembelajaran berdiferensiasi yang belum dimaknai dan diimplementasikan dengan baik, hingga kurangnya keterlibatan tripusat pendidikan. Sedana menyampaikan peran serta orang tua juga sangatlah penting dalam hal ini.
“Ekosistem tripusat pendidikan harus berjalan dengan baik, sehingga masyarakat menyadari bahwa pendidikan anak itu tanggung jawab yang utama,” jelasnya.
Sedana pun mengusulkan beberapa solusi sebagai langkah strategis yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini. Antara lain, pemetaan kemampuan siswa sejak SD, pembentukan kelas khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan belajar lambat, optimalisasi pelatihan guru, hingga deteksi dini disleksia.
Sebagai solusi jangka panjang, Dewan Pendidikan Buleleng juga mendorong evaluasi ulang terhadap kebijakan naik kelas otomatis.
“Masalah ini bukan hanya di SMP, tapi berakar dari SD. Harus diperbaiki dari hulu. Jangan biarkan SMP menanggung beban pembelajaran dasar yang belum tuntas,” tegasnya. (DTC/MK)