DENPASAR – Komisi VII DPR RI dan Pemprov Bali, membahas beberapa Rancangan Undang Undang (RUU) kepariwisataan Bali.mengingat Pulau Bali, mendulang devisa pariwisata nasional sebesar Rp 243 triliun, Rp107 triliun atau sekitar 44 persen disumbangkan dari Bali.
Gubernur Bali Wayan Koster di Jayasabha, Denpasar, Kamis (3/7/2025) menilai, Bali sangat berkepentingan dengan keberadaan RUU Kepariwisataan karena sektor ini merupakan sektor utama tumpuan perekonomian Bali.
“Dari 126 juta wisatawan di ASEAN, 13 juta mengunjungi Indonesia dan 6,33 juta di antaranya datang ke Bali. Dari total devisa pariwisata nasional sebesar Rp 243 triliun, Rp107 triliun atau sekitar 44 persen disumbangkan dari Bali. Bahkan, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB Bali mencapai 66 persen,” ujarnya.
Gubernur Wayan Koster pun menyampaikan sejumlah paparan untuk menjadi masukan dalam pembahasan RUU tersebut. Salah satunya yakni harapan agar daerah yang menyumbang devisa dari sektor pariwisata mendapatkan timbal balik dari pemerintah pusat dalam bentuk insentif ataupun bentuk lainnya yang memungkinkan.
“Untuk itu, saya memberikan masukan agar ada norma dalam RUU itu yang mengatur daerah – daerah yang menjadi tujuan wisata dunia agar diberikan insentif berupa pembangunan infrastruktur, sarana prasarana strategis, dan kebutuhan lainnya yang sesuai dengan potensi, karakteristik dan kepentingan daerahnya,” jelas Gubernur Bali.
Lebih jauh, dirinya menyatakan sangat menjaga sektor ini karena dampaknya sangat besar. Pariwisata harus ditingkatkan karena menjadi sumber utama pendapatan, membuka lapangan kerja, menurunkan angka kemiskinan, serta meningkatkan daya saing daerah.
“Sebagai daerah yang berkontribusi sangat besar terhadap devisa dari sektor pariwisata sekitar 44%, jadi menurut saya sudah sepantasnya ada keberpihakan dan afirmasi dari pemerintah pusat untuk menopang kepariwisataan di Bali agar berkualitas dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Dibalik pesatnya pariwisata Bali, Gubernur Bali tak menutup mata terhadap berbagai persoalan yang dihadapi, seperti Alih fungsi lahan pertanian menjadi akomodasi wisata, Peningkatan volume sampah dan tekanan pada ekosistem lingkungan; Ancaman krisis air bersih, Kemacetan parah.
Kemudian, dominasi pelaku usaha asing yang mengurangi peluang lokal, Ketimpangan pembangunan antar-wilayah, tingginya migrasi penduduk; Minimnya infrastruktur transportasi publik, Dampak budaya asing, serta menjamurnya usaha ilegal seperti penyewaan motor dan toko roti oleh WNA.
“Masalah ini nyata, tapi tidak bisa langsung disimpulkan sebagai over tourism. Luas Bali jauh lebih besar dari Singapura. Yang terjadi adalah perilaku wisatawan yang tidak tertib. Dari 6,4 juta wisatawan, mungkin tidak ada sampai seribu yang bermasalah, tapi dampaknya besar bagi citra Bali,” tegasnya.
Terkait langkah penanganan dan rencana strategis, Gubernur Koster menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai penertiban, termasuk deportasi terhadap ratusan wisatawan pelanggar aturan. Namun penertiban dilakukan secara terukur agar tidak menimbulkan kontraproduktif dalam pemulihan pariwisata.
Sementara itu, Pimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik, Dr. Evita Nursanty Iqbal menjelaskan, saat ini Komisi VII DPR RI tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
“Untuk itu, melalui kunjungan ini, kami ingin mendengar langsung kondisi riil pariwisata Bali, termasuk berbagai isu aktual yang ramai dibicarakan di media sosial seperti premanisme, over tourism, serta izin usaha vila,” katanya. (WIR)