ADA dua foto ikonik, hari ini mampir di WhatsApp saya. Foto pertama, bintang muda Prancis Kylian Mbappe dikepung 5 pemain Maroko dalam laga semifinal Piala Dunia 2022. Foto kedua, legenda Argentina Diego Maradona diadang 6 bek Belgia dalam gelaran Piala Dunia 1982.
Sudah pasti ada cerita detail di balik foto sang fotografer. Namun foto itu bisa berbicara tentang apa saja. Saya secara subjektif melihatnya seperti kisah dua seteru yang sedang dikepung inflasi. Sebuah sisi lain menjelang grand-final Piala Dunia Qatar, 18 Desember 2022 nanti.
Catatan ini tidak mengulas prediksi kekuatan dan peluang dua tim. Saya tidak punya kapasitas untuk urusan ini. Ada hal menarik di balik urusan speak bola. Ini terkait dengan nasib jutaan rakyat Argentina dan Prancis hari ini.
Bagi rakyat Argentina, menjadi juara adalah obat pelipur lara. Tapi bagi otoritas sipil di sana, ini ruang melahirkan kebijakan politik non populis di tengah kegembiraan rakyat. Sebuah kesempatan dalam kegembiraan, dua kepentingan yang saling berseberangan.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (14/12), inflasi Argentina meroket tajam di angka 88% pada Oktober dan menjadi yang tertinggi di dunia. Dampaknya 4 dari 10 orang Argentina hidup di bawah garis kemiskinan.
Diberitakan, rakyat Argentina kini memakai sistem barter untuk bertransaksi kebutuhan pokok. Bahkan forum grup Facebook jadi media bertukar informasi kebutuhan, untuk kemudian menentukan lokasi untuk eksekusi barang, seperti di stasiun kereta api.
Semakin mahalnya biaya hidup membuat banyak orang Argentina memulung sampah yang dapat di daur ulang untuk dapat bertahan hidup. “Penghasilan saya tidak lagi cukup,” kata Sergio Omar yang menghabiskan 12 jam sehari menelusuri tumpukan sampah dari tempat pembuangan sampah di Lujan, 65 km di luar ibu kota Buenos Aires, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (14/10).
Pria berusia 41 tahun ini mencari kardus, plastik, dan logam yang dapat dijual kembali. Ia mengatakan, biaya makanan telah melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Sehingga menjadi sulit untuk memberi makan keluarganya dengan lima anak.
Di tengah gemerlap pesta speak bola dengan segunung pujian bagi squad yang dikapteni Lionel Messi, justru tanah air mereka diambang ambruk. Ini sebuah ironi. Kekalahan di laga awal dari Arab Saudi, dibayar tuntas hingga puncak.
Sudah pasti runner up ada digenggaman, namun menjadi juara dengan memeluk trofi, belum pasti. Hal sedikit mirip, meski tidak seekstrim Argentina, dialami Prancis. Saat ini, Prancis mengalami ancaman kelangkaan bahan bakar di seluruh negeri.
Hal itu akibat pemogokan pekerja kilang minyak. Aksi sudah dilakukan sejak pekan lalu, diawaki pekerja TotalEnergies. Mereka menuntut kenaikan gaji di tengah tingginya inflasi.
Dampaknya terasa, sekitar 30% SPBU di Prancis kini kesulitan melayani BBM warga. Antrean mengular di mana-mana. Presiden Emmanuel Macron yang sempat ke Qatar menyaksikan timnya bermain, mengatakan bahwa krisis bahan bakar sudah terjadi. Macron menginginkan solusi secepat mungkin.
“Saya mendukung sesama warga kami yang berjuang dan yang muak dengan situasi ini,” tegasnya awal pekan.
Hal sama diakui WNI di Prancis. Rina, WNI yang tinggal di Kota Toulouse, Prancis, mengaku kelangkaan BBM sudah terjadi sejak 2 minggu lalu.
“Orang-orang di Prancis bingung karena jaringan total banyak di sini. Setelah tutup, semuanya antre di SPBU lain, itu juga dijatah maksimal 30 liter per mobil. Minggu lalu jatahnya cuma 5 liter,” katanya kepada CNBC Indonesia.
Saya pun tertegun usai membaca berita di atas, lalu terlintas sebait lagu milik Ebiet G Ade, kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu. Iya, mestinya kita bersyukur masih bisa menyaksikan hiburan Piala Dunia 2022 dari kejauhan, tanpa cemas dengan antrean mengular BBM di pompa bensin.
Akhir catatan mengutip Zinadine Zidane, legenda speak bola Prancis, I was lucky to come from a difficult area. It teaches you not just about football but also life. Saya beruntung datang dari daerah yang sulit. Ini mengajarkan Anda tidak hanya tentang sepak bola tetapi juga kehidupan.
Ketika dua seteru menari-nari menghibur miliaran manusia di seluruh dunia, di sana ada cerita getir kehidupan yang jauh dari gemerlap lampu dan mewahnya stadion di Qatar. Asa untuk Indonesia, semoga harga-harga barang aman terjangkau di ujung tahun, sembari merapal harapan yang lebih baik di tahun yang baru. (Penulis: Valerian Libert Wangge)