BULELENG – Penyelenggaraan pendidikan di Pulau Dewata menyisakan ironi. Ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali, ternyata belum bisa membaca dengan lancar.
Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana membeberkan data yang dihimpun Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng menunjukkan sekitar 400-an siswa SMP di daerah itu mengalami kesulitan membaca. Ratusan siswa tersebut berasal dari puluhan sekolah di Gumi Panji Sakti, sebutan Buleleng.
“Angkanya mengejutkan, ada 400-an anak yang tidak bisa membaca dengan lancar, artinya masih mengeja,” ujar Sedana, Rabu (9/4/2025).
TERSEBAR DI 60 SMP DI BULELENG
Ratusan siswa yang belum lancar membaca dan menulis itu tersebar di 60 SMP di seluruh Buleleng. Menurut data MKKSSMP Buleleng, terbanyak berada di SMPN 1 Seririt, yakni sebanyak 22 siswa belum lancar membaca.
Kemudian, di SMPN 2 Banjar dan SMPN 1 Sawan masing-masing 20 siswa belum lancar membaca. Sementara, di SMPN 3 Sawan sebanyak 18 siswa belum lancar membaca.
“Tidak selayaknya anak SMP yang membaca sudah tidak menjadi persoalan,” imbuh Sedana.
Mirisnya, siswa yang belum lancar membaca ternyata tidak hanya mereka yang duduk di kelas 7 SMP. Namun, ada pula yang duduk di kelas 8 dan 9.
Bahkan, di SMPN 4 Gerokgak ada lima siswa kelas 9 yang tak lancar membaca. Sementara, di SMPN 1 Gerokgak lebih banyak lagi, yakni enam siswa kelas 9 belum lancar membaca.
DAMPAK KEBIJAKAN NAIK KELAS OTOMATIS
Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana ditemui Rabu (9/4/2025).Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana ditemui Rabu (9/4/2025). (Foto: Made Wijaya Kusuma/detikBali)
Sedana menjelaskan fenomena siswa SMP tidak bisa membaca itu bisa terjadi merupakan dampak kebijakan naik kelas otomatis. Kebijakan itu diterapkan tanpa mengukur kompetensi dasar siswa.
Ia menyebut konsep pembelajaran tuntas yang menyebabkan siswa tetap naik kelas itu dipahami secara keliru. Walhasil, lulusan sekolah dasar (SD) yang belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca justru memindahkan beban pendidikan dasar ke jenjang SMP.
“Kalau dicermati, program tuntas itu implementasinya tuntaskan mereka, baru naikkan. (Jadi ini) seperti memindahkan persoalan dari SD ke SMP,” kata Sedana.
Selain itu, Sedana menjelaskan tidak menutup kemungkinan persoalan ini terjadi karena faktor lain seperti disleksia, pembelajaran berdiferensiasi yang belum diimplementasikan dengan baik, hingga kurangnya keterlibatan tripusat pendidikan.
Tripusat pendidikan atau tiga pusat pendidikan yang dimaksud Sedana yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Konsep pendidikan tersebut dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara.
“Ekosistem tripusat pendidikan harus berjalan dengan baik, sehingga masyarakat menyadari bahwa pendidikan anak itu tanggung jawab yang utama,” imbuh Sedana.
EVALUASI
Sedana mengusulkan beberapa solusi untuk menyelesaikan persoalan siswa tidak bisa membaca itu. Antara lain, pemetaan kemampuan siswa sejak SD, pembentukan kelas khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan belajar lambat, optimalisasi pelatihan guru, hingga deteksi dini disleksia.
Sebagai solusi jangka panjang, Dewan Pendidikan Buleleng juga mendorong evaluasi ulang terhadap kebijakan naik kelas otomatis. “Masalah ini bukan hanya di SMP, tapi berakar dari SD. Harus diperbaiki dari hulu. Jangan biarkan SMP menanggung beban pembelajaran dasar yang belum tuntas,” pungkasnya. (DTC/SB)
Berikut sebaran siswa SMP yang belum lancar membaca di Buleleng:
1.SMPN 1 Seririt: 22 orang
- SMP Negeri 4 Sukasada: 8 orang
- SMP Negeri Satu Atap 2 Kubutambahan: 1 orang
- SMPN Busungbiu: 3 orang
- SMPN 2 Banjar: 20 orang
- SMPN Satu Atap 2 Banjar: 1 orang
- SMPN 4 Sawan: 8 orang
- SMPN 2 Seririt: 7 orang
- SMPN 1 Sukasada: 7 orang
- SMP Negeri Satu Atap 1 Kubutambahan: 6 orang
- SMP Negeri 2 Gerokgak: 14 orang
- SMP Negeri Satu Atap 1 Gerokgak: 3 orang
- SMP Budhi Luhur Sudaji: 6 orang
- SMPN Satu Atap 3 Sukasada: 4 orang
- SMP Negeri Satu Atap 3 Kubutambahan: 4 orang
- SMP Negeri 5 Kubutambahan: 6 orang
- SMP Negeri 4 Kubutambahan: 13 orang
- SMP Negeri Satu Atap 2 Sukasada: 3 orang
- SMPN 4 Gerokgak: 7 orang
- SMPN 3 Seririt: 1 orang
- SMPN 1 Gerokgak: 16 orang
- SMPN 3 Sukasada: 2 orang
- SMP Negeri 4 Singaraja: 3 orang
- SMPN 2 Sukasada: 3 orang
- SMP Mutiara: 1 orang
- SMPN 2 Busungbiu: 5 orang
- SMPN 1 Busungbiu: 10 orang
- SMPN 1 Banjar: 6 orang
- SMPN 5 Busungbiu: 1 Orang
- SMPN 6 Tejakula: 9 orang
- SMPN 5 Tejakula: 1 orang
- SMP PGRI 2 Buleleng: 1 orang
- SMPN 5 Gerokgak: 15 orang
- SMPN 2 Sawan: 11 Orang
- SMPN 4 Seririt: 9 Orang
- SMPN 3 Tejakula: 5 orang
- SMPN 1 Tejakula: 3 orang
- SMPN 2 Kubutambahan: 5 orang
- SMP Lab Undiksha: 3 orang
- SMPN 5 Singaraja: 14 orang
- SMP Nusa Dua Gerokgak: 2 orang
- SMPN 3 Banjar: 2 orang
- SMPN 2 Tejakula: 3 orang
- SMPN 3 Gerokgak: 9 orang
- SMPN 3 Singaraja: 6 orang
- SMP Maya Seririt: 3 orang
- SMP Muhammadiyah 2 Singaraja: 1 orang
- SMPN 4 Tejakula: 8 orang
- SMPN 6 Gerokgak: 7 orang
- SMPN Satu Atap 1 Banjar: 4 orang
51 .SMPN 6 Singaraja: 7 orang
- SMPN 2 Singaraja: 10 orang
- SMPN 1 Kubutambahan: 12 orang
- SMP Ayodhya Pura Selat: 4 orang
- SMPN 1 Sawan: 20 orang
- SMPN 3 Sawan: 18 Orang
- SMPN 7 Singaraja: 6 orang
- SMPN 4 Banjar: 3 orang
- SMPN Satu Atap 1 Sawan: 6 orang
- SMPN 3 Kubutambahan: 4 orang.