Rabu, Juli 2, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jaen Couteau, Bule Prancis yang Cinta Bali

DENPASAR – Sejak dulu, sejumlah warga negara asing (WNA) turut berkiprah dalam perkembangan kebudayaan Bali. Sebut saja beberapa di antaranya Roelof Goris, Rudolf Bonnet, dan Walter Spies. Dua nama terakhir kerap disebut sebagai tokoh penting dalam perkembangan lukisan tradisi di Bali.

Jean Couteau merupakan salah satu bule yang cukup intens bersentuhan dengan kebudayaan Bali mutakhir. Pria berdarah Prancis itu dikenal sebagai seorang kurator, sejarawan seni, dan akademikus yang menetap di Pulau Dewata sejak 1975.

Selain melukis, ia juga produktif menulis esai dan buku tentang seni, politik, dan juga kebudayaan Bali. “Saya banyak menulis buku tentang Bali, tentang konsep waktu hingga mitos-mitos di Bali,” tutur Jean saat ditemui di rumahnya di Denpasar, Kamis (4/5/2023).

Jean pertama kali datang ke Indonesia mengikuti ibunya pada 1972. Sejak pindah ke Bali, Jean berkenalan dengan budayawan Usadi Wiratnaya. Perkenalannya dengan Usadi Wiratnaya itulah yang kelak menjadi mentornya dalam menulis buku-buku tentang Bali.

“Itu ada faktor kebetulan, faktor ibu. Kemudian ada unsur pribadi, saya menemukan mentor di sini (Usadi Wiratnaya),” tutur pria yang lahir pada 1945 itu.

Jean menulis dalam tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan Prancis. Salah satu buku yang dia tulis berjudul “Myth, Magic and Mystery in Bali” (2017). Buku itu merangkum kisah-kisah tentang ritual dan adat istiadat di Bali.

Melalui buku tersebut, Jean menarasikan anekdot dan sikap orang Bali terhadap kehidupan, pernikahan, tradisi, dan masalah sehari-hari lainnya. Pandangannya terhadap Bali didukung oleh ilustrasi dari seniman Bali kontemporer, seperti Ketut Budiana, Dewa Putu Kantor, dan mendiang Wayan Sadha, serta fotografer I Bagus Putra Adnyana.

Buku-buku karya Jean lainnya, antara lain “Bali Inspires” (2011), “Lempad” (2014), “Time, Rites, and Festivals in Bali” (2013). Jean juga menulis buku “Bali Today: Modernity (2005)” yang membahas tentang keindahan Bali dan membuat orang asing ingin menetap di Pulau Dewata.

Menurut Jean, Bali tidak kekurangan cara untuk mendefinisikan citranya di mata dunia hingga membuat orang asing bergerombol untuk datang ke Bali.

Bagi Jean, inspirasinya ketika menulis datang dari berbagai hal. Mulai dari fenomena sosial hingga pengalaman pribadinya di masa lalu. “Kadang-kadang menulis pertimbangan sosial politik, kadang juga semacam wejangan moral yang terinspirasi dari kehidupan saya pribadi atau kenangan waktu dulu,” imbuh Dosen Institut Seni Indonesia Denpasar itu.

Tak melulu tentang seni atau budaya, Jean juga gemar menulis tentang pertimbangan sosial-politik. Esai-esainya kerap tayang di sejumlah media tanah air. Terkadang, ia menulis kritik dengan satir dan humor sehingga terhindar dari upaya menghakimi.

Salah satu esai terbarunya berjudul “Pengeroyokan Online di Bali”. Esai tersebut menyoroti fenomena bule nyeleneh di Bali yang memicu geramnya warga lokal.

Menurut Jean, warganet di Indonesia kini melabeli seluruh bule sebagai ‘pengacau’. Padahal, yang berulah itu hanya segelintir bule, umumnya WNA asal Rusia dan Ukraina yang kini sedang berkonflik.

“Mereka (warganet) main keroyok lewat media sosial, memainkan isu identitas, tak bisa membedakan warga Rusia dengan Australia. Pokoknya bule,” ujarnya.

Pria berusia 78 tahun itu menyebut fenomena tersebut sebagai dampak kejenuhan terhadap pariwisata. Menurutnya, tingkah polah pelancong dan reaksi warga lokal di Bali tak hanya terjadi baru-baru ini. Hanya saja, respons warga lokal terhadap orang asing itu semakin riuh karena dibawa ke media sosial.

“Sesungguhnya tahun 70-an atau sekitar 80-an lebih parah (tingkah) orang bule yang ada di Bali. Tetapi pada waktu itu pariwisata tengah booming dan belum menjalani fenomena kejenuhan terhadap pariwisata,” imbuhnya.

Jean berpesan agar tingkah ngawur segelintir bule tidak disikapi dengan menyulut isu identitas hingga menimbulkan gesekan. Ia juga meminta pemerintah dan para influencer media sosial menyikapinya dengan kepala dingin. (dtc)

*) Artikel ini ditulis oleh Hanna Patricia M. Lubis, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER