Senin, Juli 14, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Taufik Basari: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Berpotensi Timbulkan Krisis Konstitusional

JAKARTA – Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, Taufik Basari, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI, Jumat (4/7/2025), Taufik menyebut keputusan tersebut dapat menimbulkan dilema konstitusional yang serius dan berpotensi memicu kebuntuan hukum.

Taufik menjelaskan bahwa secara substansi, putusan MK itu menyatakan pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden akan digelar terlebih dahulu, lalu dua hingga dua setengah tahun setelahnya baru diselenggarakan pemilu daerah untuk memilih DPRD dan kepala daerah.

Ia menyebut skema ini menimbulkan persoalan karena berpotensi melanggar ketentuan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 18 ayat (3).

“Pemilu itu perintah konstitusi yang harus digelar lima tahun sekali. Kalau pemilu DPRD baru dilakukan dua setengah tahun setelah periode selesai, maka kita justru tidak menjalankan konstitusi,” ujar Taufik.

Ia juga menyoroti inkonsistensi antara putusan MK dengan norma dasar pemilu dalam UUD 1945. Menurutnya, konstitusi dengan jelas menyebut bahwa DPRD dipilih melalui pemilu, bukan diperpanjang masa jabatannya secara administratif atau dibiarkan kosong selama dua tahun.

“Kalau masa jabatan DPRD diperpanjang tanpa pemilu, itu tidak memiliki legitimasi demokratis. Tapi kalau DPRD dikosongkan, itu juga melanggar Pasal 18 karena pemerintah daerah harus punya DPRD. Jadi dua-duanya melanggar,” kata Taufik.

Politikus dari fraksi NasDem ini juga mengkritik langkah MK yang menurutnya terlalu jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang. Ia menyebut putusan MK kali ini telah menambahkan norma baru yang seharusnya hanya bisa dibentuk oleh DPR bersama pemerintah.

“MK sebagai negative legislator seharusnya membatalkan atau menyatakan norma inkonstitusional, bukan menambah norma. Tapi dalam putusan ini, MK justru menetapkan batas waktu pemilu berikutnya, yang sejatinya adalah wewenang pembentuk UU,” ujarnya.

Taufik juga menilai bahwa Putusan MK 135 tidak membuka ruang partisipasi publik yang memadai sebagaimana lazimnya dalam proses legislasi di DPR. Menurutnya, ketika MK menghasilkan norma hukum yang berlaku layaknya undang-undang, maka seharusnya prinsip inklusifitas publik juga diterapkan.

“Saya ingin mengingatkan bahwa tidak ada satu sistem pemilu pun di dunia yang statis. Semua fleksibel mengikuti dinamika zaman, termasuk perkembangan teknologi seperti e-voting. Tapi putusan ini justru mengunci pilihan-pilihan itu,” ungkapnya.

Di akhir pemaparannya, Taufik menegaskan bahwa kendati dirinya bersikap moderat terhadap praktik positive legislator, MK tetap harus berhati-hati dalam menafsirkan konstitusi. Ruang tafsir, kata dia, tidak boleh keluar dari norma dasar konstitusi itu sendiri.

“Prinsipnya jelas, MK boleh menafsirkan, tapi tak boleh mengubah atau menambah norma konstitusi. Jika itu terjadi, maka kita menghadapi bukan sekadar polemik hukum, tetapi krisis konstitusional,” pungkas Taufik. (MK/SB)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER