DENPASAR – Belakangan ini aksi tidak senonoh atau asusila di kawasan suci marak terjadi. Baru-baru ini, terjadi kasus perempuan warga negara asing (WNA) berpose telanjang di kayu putih Desa Tua, Kecamatan Marga, Tabanan.
Ada pula sederet kasus serupa di daerah lain. Seperti kasus bule telanjang di Gunung Batur, hingga aksi pemuda menunjukkan kondom di Pura Samuantiga, Gianyar yang tak kalah heboh.
Mengapa fenomena seperti itu kerap terjadi? Akademisi Hindu dari Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Kadek Satria menyebut maraknya kejadian tak senonoh di kawasan suci lebih pada akibat kurangnya pengawasan pihak yang memiliki tanggung jawab serta kurangnya kesadaran umat perihal beretika di tempat suci.
Melihat kasus WNA telanjang di kayu putih, Marga, Tabanan, beberapa waktu lalu misalnya. Peristiwa itu terjadi lebih pada kurangnya edukasi dan pengawasan pihak yang bertanggung jawab atas wilayah itu.
Dia berpendapat, pelaku tidak senonoh kebanyakan tidak mengetahui secara baik tentang budaya, adat, tradisi, serta keagamaan di Bali. Apalagi pelakunya dominan warga negara asing. Maka, hal itu wajar jika dilihat dari siapa pelakunya.
Pendapat itu menjadi berbeda jika pelakunya warga lokal yang sudah pasti paham tentang perilaku yang mesti diterapkan. Hal paling mendasar atau lebih awal dilakukan adalah memperbanyak pemberian pemahaman tentang kawasan suci kepada tamu asing.
“Artinya, edukasi kita kepada para wisatawan di kawasan suci atau pura kurang. Bebasnya mereka berekspresi karena mereka kemungkinan tidak ada yang memberi tahu atau tidak menyampaikan aturan yang harus diikuti,” jelas Satria, Minggu (8/5/2022) dikutip detikcom.
Hal yang bisa dilakukan para tokoh adat, prajuru pura, dan pihak yang bertanggung jawab atas keberadaan kawasan suci, adalah memperbanyak informasi-informasi tentang kawasan suci. Dapat juga berupa imbauan dan papan aturan di depan kawasan suci.
Kenapa kasus seperti itu tetap saja sering terjadi? Menurut Satria, pihak-pihak yang memiliki kewenangan perlu mengawasi secara ekstra siapa saja yang masuk kawasan pura dan sebagainya.
“Mesti peka terhadap perubahan yang harus dilakukan dengan memberikan imbauan. Contoh kecil memasang pamflet atau selebaran, apa saja yang tidak boleh dilakukan orang di pura. Jika ada, bagus. Kalau tidak, ini yang menyebabkan banyak persoalan pelecehan kawasan suci,” tegasnya.
Upaya pencegahan yang lain, kata Satria, juga bisa dilakukan dengan cara menerapkan pararem atau kesepakatan penerapan sanksi adat bagi mereka yang melanggar di kawasan suci.
“Misalnya penerapan sanksi denda. Ini tentu ujungnya akan kembali ke desa itu sendiri, untuk perbaikan ke depan. Hal-hal semacam ini menurut saya juga sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat.”
“Yang penting juga, pariwisata kita perlu dikuatkan dengan edukasi dari sisi spiritual dan kekhasan adat-budaya. Bahwa siapapun yang datang ke Bali harus mendapat pendampingan atau penjelasan tentang adat. Sehingga mereka tidak melakukan sesuatu yang bertentangan,” pungkas Kadek Satria. (dtc)