Sabtu, Juli 5, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Habiburrokhman Kritik Putusan MK soal Pemilu Terpisah: Minim Partisipasi Publik!

JAKARTA — Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah mulai 2029.

Hal itu ia sampaikan dalam RDPU yang digelar Komisi III bersama sejumlah pakar, diantaranya Valina Singka Subekti, Taufik Basari hingga mantan Hakim MK Patrialis Akbar, Jumat (4/7/2025).

Habiburrokhman menilai, tidak sebanding antara panjangnya proses pembentukan undang-undang di DPR dengan proses penyusunan norma baru oleh MK.

Menurutnya, DPR menjalankan tahapan panjang dan terbuka untuk menyusun satu undang-undang, mulai dari Prolegnas, penyusunan naskah akademik, hingga pembentukan tim perumus dan tim sinkronisasi.

“Di semua tingkatan itu kami selalu membuka ruang partisipasi publik. Misalnya saat menyusun RUU KUHAP, kami sudah mendengar masukan dari hampir 60 organisasi. Nah, apakah Mahkamah Konstitusi melakukan proses partisipatif yang sama?” ujar Habiburrokhman dalam forum.

Ia mempertanyakan sejauh mana MK melibatkan masyarakat dalam pembentukan norma baru lewat putusan, terutama dalam hal yang berdampak besar seperti perubahan desain pemilu. Ia menilai keterlibatan ahli dalam sidang MK kerap terbatas.

“Seringnya cuma dua atau tiga ahli yang diundang. Padahal ketika sebuah norma diubah, dampaknya menyentuh sistem politik kita secara menyeluruh,” jelasnya.

Habiburrokhman juga mengingatkan bahwa MK bukanlah lembaga perwakilan rakyat, melainkan lembaga yudisial yang keanggotaannya ditunjuk oleh lembaga lain.

“Tiga hakim dipilih pemerintah, tiga dari MA, dan tiga dari DPR. Jadi representasi publik secara langsung dalam pembentukan norma di MK itu lemah,” tambahnya.

Ia mendorong agar diskusi tentang partisipasi publik dan legitimasi pembentukan norma oleh MK dikaji lebih lanjut oleh para pakar hukum tata negara dan lembaga riset.

Menurutnya, penting untuk menjaga keseimbangan antara kewenangan MK dalam menafsirkan undang-undang dengan prinsip demokrasi partisipatif. (MK/SB)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER