DENPASAR – Orang Bali tradisional tidak asing dengan tradisi Imlek yang dirayakan oleh umat Konghucu. Di masa lalu, orang Bali kerap menyebut Imlek dengan istilah Galungan China.
Guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, A. A. Bagus Wirawan menjelaskan istilah Galungan China itu sebenarnya hanya untuk memudahkan penyebutan bagi orang Bali tradisional. Hal itu juga terlepas dari sisi historis Imlek yang terasa asing di era kekuasaan Orde Baru.
“Karena saudara China yang tinggal di Bali merayakannya, agar lebih mudah (Imlek) disebut dengan Galungan China,” jelas Wirawan, Kamis (19/1/2023).
Menurut Wirawan penyebutan istilah tersebut juga merupakan bentuk akulturasi budaya China dan Bali. “Penduduk asli menerimanya. Yang pendatang menyesuaikan. Tanpa harus menghilangkan identitas atau budaya penduduk asli,” imbuhnya.
Bagi orang-orang Bali di masa lalu, penyebutan istilah Galungan China juga berfungsi sebagai penanda waktu. Jika Imlek datang, itu pertanda telah memasuki sasih kaulu (bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Bali) dan musim penghujan.
“Karena orang Bali meyakini kalau sudah ada hujan disertai angin dan petir, para dewa saudara China datang. Itu kata orang-orang Bali dulu. Jadi (Imlek) dipakai juga sebagai penanda waktu,” kata Wirawan.
Penyebutan Imlek sebagai Galungan China ini menurut Wirawan sama seperti kemunculan istilah Ngusaba Ketupat di Kampung Islam pertama di Gelgel, Klungkung. “Sama seperti di Gelgel, di Kampung Islam yang asli, yang datang di masa Majapahit, di sana ada Ngusaba Ketupat,” ujarnya.
Menurutnya, istilah Galungan China sebagai sebutan lain dari Imlek merupakan salah satu contoh kecil akulturasi kebudayaan China dan Bali. Dialektika kebudayaan China dan Bali diperkirakan terjadi pada awal abad Masehi melalui jalur perdagangan.
Hal itu terbukti dari peninggalan sejarah yang lebih banyak ditemukan di daerah pesisir. Khususnya pesisir utara Bali yang berada pada jalur perdagangan antarpulau.
Wirawan menambahkan, kontak dua kebudayaan itu masih bisa dilihat di kehidupan sehari-hari saat ini. Beberapa di antaranya penggunaan keramik atau porselen sebagai hiasan dinding. Kemudian ada pula istilah patra Cina dalam seni ornamen Bali.
Selain itu, penggunaan pis bolong atau uang kepeng yang semula dipakai untuk alat tukar dalam aktivitas jual beli, kini bahkan digunakan sebagai sarana ritual bagi orang Hindu Bali. “Bukan hanya upacara, tetapi untuk membuat pratima rambut sedana, pakai pis bolong yang kuno lagi,” jelasnya. (iws/gsp/dtc)