Selasa, Maret 18, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pakai Pewarna Alami Daun, Kain Produksi Warga Sembiran Tembus ke 5 Benua

BULELENG -Siapa sangka bahan-bahan yang ada di sekitar bisa dijadikan sebagai produk bernilai dan bermutu tinggi. Seperti halnya yang dilakukan I Made Andika Putra, asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali.

Pria berusia 37 tahun ini berhasil mengembangkan bisnisnya di bidang pencelupan kain menggunakan warna alam yang diberi nama Pagi Motley. Bisnis yang digelutinya sejak 2019 sebelum COVID-19 ini pun bahkan bisa menembus pasar internasional.

Andika mengatakan produk-produknya sudah banyak terjual di benua Asia, Eropa, Amerika, Australia, bahkan Afrika.”Pemasaran kami sudah seluruh benua ada. Tapi yang paling dominan di Eropa,” ujar I Andika ditemui seusai menjadi narasumber di acara Singaraja Literary Festival, di Museum Buleleng, Minggu (1/10/2023).

Produk kain yang dihasilkan dari pewarna alami memiliki warna yang lebih soft. Sehingga terkesan lebih elegan untuk dilihat. Selain karena ramah lingkungan Andika mengaku memilih memanfaatkan pewarna alami dari tanaman karena mudah untuk didapatkan.

Misalnya saja daun mangga untuk warna kuning, daun ketapang warna hitam, daun indigo warna biru, serta serabut kelapa warna coklat. Di sisi lain, penggunaan pewarna alami, kata Andika, juga tidak berbahaya bagi kesehatan.

“Warna alami lebih soft, sedangkan sintetis lebih cerah. Selain itu warna alam aman untuk manusia. Sedangkan sintetis berbahaya kalau masuk ke pori-pori tubuh, salah satunya bisa menyebabkan kanker,” jelasnya.

Ketertarikannya terhadap dunia pewarnaan alami dimulai pada 2001. Kala itu, ia diberikan buku oleh orang Belanda yang berkunjung ke Desa Sembiran.

Buku itu berisi tentang tata cara mengolah tumbuhan hingga menghasilkan pewarna alami. Berawal dari itulah, Andika mulai mengembangkan kemampuannya dalam hal pewarnaan alami, sembari bekerja di pabrik tekstil orang lain.

Demi memperdalam ilmunya, Andika juga mengikuti pelatihan di jakarta. Ia juga memperdalam ilmu pencelupan warna alam dengan berkunjung dan belajar ke luar daerah, seperti di Jawa dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Saya belajar 100 persen autodidak. Karena referensinya cuma dark buku saja. Tiga tahun trial errornya. Kadang warna hilang, kadang warnanya nggak keluar karena cara ngerebusnya itu terlalu singkat, 2004 saya lalu ikut pelatihan di Jakarta,” jelasnya.

Setelah 18 tahun bekerja dengan orang lain, ia bersama dengan sang kakak memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri di 2019.

“Itu karena dapat dorongan dari klien untuk membuka usaha pencelupan warna alam di Bali utara, karena klien saya loyal saya menyanggupi,” jelasnya.

Andika mengatakan pewarna alami yang paling sering ia gunakan adalah daun mangga. Sebab di sekitar studionya di Desa Sembiran, banyak terdapat pohon mangga. Ia pun memanfaatkan daun mangga yang terbuang sebagai pewarna.

Daun-daun mangga yang telah dicacah, selanjutnya akan direbus untuk dijadikan pewarna alami tekstil. Daun mangga ini akan melahirkan warna kuning, setelah dilakukan perebusan.

Andika menjelaskan proses pembuatan pewarna alami memerlukan waktu lebih lama dibandingkan pewarna kimia.

“Prosesnya agak panjang dari persiapan, pemetikan bahan baku, pemotongan, perebusan sampai jadi. Kemudian pencelupan, jadi lebih lama prosesnya dibanding pewarna kimia. Tapi ini ramah lingkungan limbahnya bisa digunakan pupuk kompos karena kami pakai daun,” imbuhnya.

Adapun harga dari kain yang diproduksi Pagi Motle berkisar Rp 450 ribu untuk kain motif biasa sampai Rp 10 juta kain dengan motif lukisan pewayangan. Selain kain, Pagi Motley juga memproduksi aksesoris hingga pakaian.

“Teknik lukis kenapa lebih mahal karena pengerjaannya lebih lama dan lebih detail. Untuk pakaian limited ya, kisarannya Rp 1 juta sampai Rp 4,5 juta,” tandasnya. (dtc)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER