BADUNG– Ratusan warga Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (KEPET ADAT), meminta bantuan Komisi I DPRD Bali, terkait kasus tanah didaerahnya. Mereka, merupakan warga (penyakap, waris penyakap, pemilik lama, krama desa adat, dan krama subak) di lingkungan Buana Gubug dan Mekar Sari.
“Kami ingin menyampaikan aspirasi serta meminta bantuan kepada anggota dewan terkait permasalahan hukum atas perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) tanah seluas 280 hektar di Jimbaran. Mereka menilai perpanjangan SHGB yang diberikan kepada sejumlah perusahaan swasta di Jimbaran dilakukan secara tidak sah,” kata Kuasa hukum KEPET ADAT, I Nyoman Wirama.
Dia menjelaskan, ada salah seorang warga yaitu I Wayan Bulat (67 tahun) seorang pensiunan Polri yang beralamat di Jalan Uluwatu I, Jimbaran menghadapi gugatan dari seorang pengusaha karena disebut menyerobot tanah milik perusahaan. Gugatan ini dilayangkan setelah warga menolak meninggalkan lahan yang telah ia tempati turun-temurun.
Pada tahun 1994 pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum, padahal lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun, lahan yang dibebaskan secara paksa itu, justru diterbitkan sejumlah SHGB.
Lahan yang dibebaskan tersebut hingga kini masih terlantar, sehingga warga menduga pembesan lahan bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan bisnis pribadi karena info yang beredar salah satu perusahaan melakukan kerjasama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan Perusahaan pengembang property.
Dia menambahkan, ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam perpanjangan SHGB lahan tersebut. Perpanjangan dilakukan dengan dalih bahwa lahan akan digunakan untuk fasilitas multilateral dalam sebuah acara internasional pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini tidak ada pembangunan sesuai rencana.
“Ini perlu saya garis bawahi, pengalihan tanah adat ini oleh para pengusaha katanya atas dasar jual-beli. kemudian SHGB tersebut, 280 hektar, diperbanyak dengan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur, dan pejabat lainnya bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral yaitu KTT APEC yang diselenggarakan pada tahun 2013,” jelasnya.
Ditambahkan, seorang warga bernama Nyoman Tekad menegaskan, tanah tersebut merupakan warisan dari Kerajaan Mengwi yang sejak lama dikelola oleh warga desa adat dengan sistem bagi hasil.
Namun, perubahan besar terjadi setelah Indonesia merdeka, ketika tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah negara. Meskipun tetap dikelola oleh warga, pada tahun 1994-1995 terjadi penggusuran massal yang diduga dilakukan secara ‘tidak manusiawi.’
“Penggusuran itu hampir bersamaan dengan sebauh proyek besar kala itu. Kami, warga Subak Balang Tamak, kebanyakan orang kecil pendidikan rendah, tidak tahu harus mengadu ke mana saat itu,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budi Utama, didampingi Sekretaris Komisi I DPRD Bali Nyoman Oka Antara, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Provinsi Bali Gede Harja Astawa dan Wakil Ketua III DPRD Provinsi Bali Komang Nova Sewi Putra memastikan, DPRD Bali akan mengkaji dokumen dan barang bukti yang telah diserahkan dan segera memanggil pihak-pihak terkait, termasuk investor dan Badan Pertanahan Provinsi Bali.
“Kami akan pelajari dokumen yang telah diserahkan. Jika ada yang kurang, kami akan tetap berkoordinasi dengan pihak terkait. Kasus ini sudah masuk ke pengadilan, jadi kami harus berhati-hati dalam menyikapinya,” katanya.
Dia menambahkan, asal-usul tanah ini akan menjadi perhatian serius DPRD, terutama karena berkaitan langsung dengan kebijakan pertanahan di Provinsi Bali.(WIR)